Sabtu, 30 Mei 2009

Tugas 3

Tugas 3 : Satelit Indostar 2


Satelit Indostar II Mengorbit Maret 2009

Jakarta - Indovision akan meluncurkan satelit Indostar II pada 17 Maret 2009 di Baikonour, Kazakhstan. Satelit yang menelan biaya US$ 300 juta ini merupakan pengganti satelit Cakrawarta yang segera habis masa orbitnya. Dalam pengadaan satelit ini, Indovision (Media Citra Indostar) bekerja sama dengan Protostar membangun satelit yang bisa disebut juga dengan nama satelit Protostar II. Dirut Indovision Rudy Tanoesoedibjo menyebutkan, satelit yang memiliki kapasitas transponder S-band sepuluh buah atau dua kali lipat dari satelit sebelumnya ini menggunakan teknologi MPEG-2 dan MPEG-4. "Investasi ini 60 persen dari dana internal, dan 40 persen sisanya pinjaman asing," ungkapnya dalam jumpa pers di gedung Depkominfo, Jakarta, Rabu (19/11/2008).

Selain S-band, satelit Indostar II ini juga menyediakan transponder Ku-band sebanyak 12 buah yang diarahkan ke India dan 10 buah ke arah Indonesia, Filipina, dan Taiwan. Penambahan jumlah transponder akan menambah jumlah saluran televisi Indovision menjadi 100-150 kanal termasuk untuk saluran High Definition TV. Satelit Indostar II sendiri dibuat oleh Boeing Satellite System di Los Angeles, California, AS, dalam waktu 20 bulan. Satelit yang memiliki umur orbit 15 tahun lebih ini menggunakan platform BS 601 HP. Dengan tinggi 4 meter, panjang 3,6 meter, dan lebar 2,7 meter, berat satelit saat diluncurkan 4150 kilogram. Sementara, dengan bentangan solar panel 26,2 meter akan menghasilkan kapasitas listrik 9,9 kilowatt.

Satelit Indostar II Bersiap Lepas Landas di Kazakhstan

Jakarta - Satelit Indostar II milik MNC Sky Vision, tengah bersiap lepas landas di Boikonur, Kazakhstan. Satelit ini membawa 32 transponder untuk keperluan akses telekomunikasi, internet, dan penyiaran yang menjangkau Filipina, Taiwan, India, dan tentu saja Indonesia. Head of Marketing Product & PR Department, PT MNC Sky Vision, Asri Winnie Sularto, menuturkan eksekusi peluncurannya akan berlangsung pukul 06.58 waktu Boikonur atau 07.58 WIB, Sabtu (16/5/2009).
"Tim dari Indonesia akan berangkat ke Boikonur dari bandara Sheremetyevo, Moskow, untuk menyaksikan secara langsung peluncurannya besok pagi,"

Peluncuran satelit Indostar II mengunakan Roket Brezze M yang dibuat oleh Khrunichev State Research di Moskow. Satelit buatan Boeing model BS 601 HP ini menyediakan layanan komunikasi dua arah dengan kecepatan tinggi untuk jasa internet, data, suara, video dan multimedia.

"Pembuatan dan peluncuran satelit ini menelan biaya US$ 300 juta," sambung Winnie, demikian ia biasa dipanggil. Indostar II (Protostar II) akan menggantikan satelit Indostar I. Dari 32 transponder yang.dimiliki, 10 transponder aktif dan 3 transponder cadangan akan difungsikan sebagai penguat gelombang frekuensi S-Band untuk menyediakan jasa layanan penyiaran langsung ke rumah-rumah atau (Direct-To-Home/DTH) oleh MNC Sky Vision. "Indostar II akan memiliki kapasitas dua kali lebih banyak daripada Indostar I. Dengan penambahan ini, kami yang tadinya cuma memiliki 60 channel akan bertambah menjadi 120-150 channel," demikian Winnie mengatakan. Sementara, transponder Indostar II yang menggunakan frekuensi KU-Band, didesain untuk DTH dan layanan telekomunikasi untuk di India. Kemudian, transponder KU-Band lainnya digunakan untuk akses internet berkecepatan tinggi dan layanan telekomunikasi di Filipina, Taiwan maupun Indonesia. Satelit BS 601 HP buatan Boeing ini merupakan penjualan terbaik di dunia untuk satelit komunikasi berukuran sedang. Boeing memiliki fasilitas untuk pembuatan, perakitan, penggabungan dan pengetesan satelit di atas komplek pabrik seluas satu juta kaki persegi di El Segundo, Amerika Serikat.

Satelit Indostar sejatinya dikelola Media Citra Indostar (MCI) meski wewenang dalam pelaksanaan untuk penyiaran mutlak dikendalikan MNC Sky Vision. Dengan hadirnya Indostar II, penyelenggara siaran TV berbayar Indovision ini mematok penambahan pelanggan dari 580 ribu menjadi satu juta pelanggan. MCI yang menggunakan spektrum 2,5 GHz dengan jumlah pita selebar 150 MHz, belum lama ini dituding melakukan monopoli frekuensi. Banyak kalangan menilai jumlah tersebut terlalu besar jika hanya digunakan untuk TV berbayar.Forum Komunikasi Broadband Wireless Indonesia (FKBWI), misalnya, beranggapan bahwa pelanggan yang bisa menikmati teknologi TV berbayar maksimal hanya 500 ribu pelanggan. Sedangkan jika diberikan untuk akses teresterial bisa dinikmati oleh 10 juta pelanggan.

Peluncuran Satelit Indostar II

Warga di Bumi, khususnya Indonesia, boleh bergembira. Sebab telah diluncurkan satelit baru yang katanya metupakan satelit satu-satunya yang dikhususkan untuk penyiaran di bumi Indonesia.Dengan tinggi 4 meter, panjang 3,6 meter, dan lebar 2,7 meter, berat satelit saat diluncurkan 4150 kilogram. Sementara, dengan bentangan solar panel 26,2 meter akan menghasilkan kapasitas listrik 9,9 kilowatt. Begitulah spesifikasi dari satelit itu.Selain untuk Indonesia, satelit ini juga bisa digunakan bagi mereka yang tinggal di negara” di Asia Tenggara, Taiwan, Hongkong, bahkan hingga India.Satelit ini dibuat di Amerika, tepatnya dibuat oleh Boeing Satellite System di Los Angeles, California, AS, dalam waktu 20 bulan. Satelit yang memiliki umur orbit 15 tahun lebih ini menggunakan platform BS 601 HP. Inilah point jeleknya, kenapa gak Indonesia sendiri yang buat. Satelit ini diluncurkan di Baikonour, Kazakhstan. Satelit yang menelan biaya US$ 300 juta ini dibuat sebagai pengganti satelit Cakrawarta yang segera habis masa orbitnya.Setridaknya itu adalah langkah awal menuju era yang lebih baik di Bumi. Moga satelit itu gak ngalami kerusakan di luar sana

Satelit Indostar II Akhirnya Mengorbit di 107,7° BT

PDF

Print

E-mail



Jakarta - Roket Proton Breeze M akhirnya berhasil membawa satelit Indostar II terus terbang meninggalkan landasan pacu Baikonur, Kazakhstan. Satelit ini akan mengorbit di ketinggian 35.786 km dan berlokasi 107,7° Bujur Timur (BT).
Tim dari Indonesia yang menyaksikan langsung dari lokasi peluncuran melaporkan bahwa peluncuran sukses dilaksanakan sesuai waktu yang telah dijadwalkan.
"Cuaca disini sangat baik dan semoga tidak ada kendala yang berarti," lapor Arya M Sinulingga, salah satu delegasi dari Indonesia, melalui percakapan jarak jauh, Sabtu (16/5/2009). Peluncuran satelit, seperti dituturkannya, berlangsung tepat pukul 06.58 waktu Boikonur atau 07.58 WIB pagi tadi. Arya merupakan corporate secretary PT MNC Sky Vision, pemilik satelit ini.

Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo, Freddy Tulung, ternyata ikut menyaksikan langsung peluncurannya di Baikonur."Ini merupakan momen bersejarah bagi Indonesia terutama di bidang penyiaran," tandasnya.

Indostar II merupakan satelit yang memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan sebelumnya, Indostar I. Melalui 10 S-Band transponder, yang bisa melayani sekitar 120 channel dengan teknologi MPEG-2 dan 140 channel dengan teknologi MPEG-2 dan MPEG-4, yang diyakini tahan terhadap cuaca seperti hujan besar.Kepala Divisi Satellite Operation and Engineering MNC, Alfan Afandi, menuturkan Indostar II ini adalah satelit yang akan menggantikan Indostar I yang akan habis masa berlakunya. "Indostar II memiliki lifetime selama 15 tahun," tambahnya.

Satelit Indostar 2 Berhasil di luncurkan

Roket Proton Breeze M lepas landas dari pusat peluncuran roket Kosmodrom Baikonur, Kazakhstan, kemarin btanggal pagi. Roket ini mengantarkan satelit Indostar II menuju orbit.Kehadiran satelit tersebut akan membuka peluang-peluang baru bagi Indonesia, terutama dalam industri penyiaran dan industri kreatif.Indostar II lepas landas pada pukul 00.57 GMT atau pukul 07.57 WIB dengan menumpang roket Proton Breeze M,produksi Khrunichev Research and Production Space Center,yang merupakan produsen wahana antariksa utama Rusia. Peluncuran disaksikan langsung tim PTMNCSkyVision(Indovision) yang dipimpin Direktur Utama Rudy Tanoesoedibjo.
Proton Breeze M dikenal sebagai roket tangguh yang sanggup meluncur dalam kondisi-kondisi ekstrem.Namun, Proton Breeze M tidak harus menghadapi tantangan cuaca saat meluncurkan Indostar II karena cuaca saat peluncuran sangat bersahabat. Matahari pagi bersinar cerah menerangi padang rumput di sekitar Launch Pad 39 di mana roket Proton Breeze M berdiri tegak menghadap langit.Suhu musim semi di Baikonur mencapai 14–16 derajat Celsius dan angin berembus dengan kecepatan 4–6 meter per detik.Roket Proton Breeze M mulai dinyalakan pada dua detik sebelum peluncuran.Pada satu detik sebelum peluncuran, tenaga dorong roket itu ditingkatkan hingga 40% dari total. Setelah itu, tenaga didongkrak penuh hingga 100%. Proton Breeze M pun lepas landas. Asap tebal berwarna putih menyiratkan kilau keperakan akibat cahaya Matahari pagi saat Proton Breeze adalah masa- masa paling kritis.

Selama dua menit pertama, Proton Breeze M terbang denganroketpendorongpertama.Ini adalah roket pendorong bertenaga paling besar dari tiga roket pendorong yang diusung Proton Breeze M. Pada dua menit pertama setelah peluncuran, Proton Breeze M memerlukan roket pendorong bertenaga sangat besar karena saat itu gravitasi bumi masih berpengaruh kuat terhadap roket ini. Dua menit berlalu,Proton Breeze M pun mulai terbebas dari gravitasi bumi.Pada tahap ini, roket tersebut masih dapat dilihat dengan mata telanjang.Ketika pengaruh gravitasi bumi berkurang,Proton Breeze M pun melepas roket pendorong pertama dan beralih ke tenaga roket pendorong kedua. Proton Breeze M melesat semakin tinggi hingga tidak terlihat lagi. Roket pendorong kedua ini digunakan hingga lima menit setelah Proton Breeze M meninggalkan landasan. Setelah itu, roket pendorong kedua pun dilepas.Hingga menit kesembilan setelah peluncuran, satelit Indostar II melesat ke angkasa luar dengan roket pendorong ketiga dari Proton Breeze M. Pada menit ke-11 setelah peluncuran, satelit Indostar II melesat sendirian di angkasa luar dengan dukungan tenaga roket suborbit. Roket itu lima kali dihidup-matikan untuk mendorong Indostar II ke posisi orbit yang dikehendaki. Pada jam kesembilan setelah peluncuran, roket pendorong suborbit itu pun dilepas dan Indostar II meluncur secara mandiri di orbit.

Diperlukan waktu hingga sembilan hari bagi Indostar II untuk mencapai titik orbit yang diinginkan,yaitu 107,7 BT (Bujur Timur) padaketinggian36.000 km di atas permukaan laut. Peluncuran roket Proton Breeze M yang mengangkut satelit Indostar II ini dilakukan International LaunchServices(ILS) Inc,pemimpin industri jasa peluncuran satelit komersial di dunia. Setelah mengorbit, satelitIndostarIIakandioperasikan PT MediaCitra Indostar (MCI).MCI akan memanfaatkan satelit itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan televisi berlangganan Indovision di Indonesia. Indostar II diorbitkan untuk menggantikan satelit Indostar I yang sudahmengorbitsejak1997. IndostarII memiliki masa operasi 15 tahun. Satelit Indostar II diproduksi oleh Boeing Co. Satelit ini adalah tipe BS 601 HP. Ini adalah satelit paling laris produksi Boeing. Saat ini,diperkirakan ada sekitar 50 buah satelit BS 601 HP yang sudah mengorbit. Namun bagi Indonesia, Indostar II merupakan satelit penyiaran berkinerja tinggi yang pertama. Sebagai satelit generasi baru, Indostar II menawarkan sejumlah peningkatan kinerja dibandingkan Indostar I. Di antaranya Indostar II memiliki lebih banyak transponder, memiliki jangkauan lebih luas,dan memiliki sinyal lebih kuat. Corporate Secretary PT MNC Sky Vision (Indovision) Arya Mahendra Sinulingga menjelaskan, dengan berbagai kelebihan satelit Indostar II,Indovisionakan mampu menyajikan layanan penyiaran DTH (direct-to-home) dengan kapasitas dua kali lebih banyak daripada dengan satelit Indostar I.Dengan jangkauan satelit Indostar II yang lebih luas,Indovisionjuga akan mampu melayani lebih banyak wilayah di Indonesia. Adapun dengan sinyal Indostar II yang lebih kuat, layanan Indovision kelak akan lebih tahan terhadap cuaca sehingga ketika hujan besar terjadi, layanan Indovision masih bisa dinikmati dengan baik oleh pelanggan. “Saat dunia dilanda krisis keuangan global,masih ada perusahaan swasta nasional berani meluncurkan satelit ini karena dunia broadcasting (penyiaran) adalah sarana penting bagi kehidupan berbangsa.Tidak dapat dimungkiri, media untuk menyatukan serta memberikan informasi kepada masyarakat masih didominasi penyiaran,” tutur Arya. Selain untuk penyiaran televisi, satelit Indostar II juga mampu menyajikan komunikasi internet berkecepatan tinggi. Potensi ini penting untuk mendukung pertumbuhan industri kreatif di Indonesia. Satelit Indostar II mampu menyediakan layanan komunikasi dua arah yang menjangkau Indonesia, India,Filipina,dan Taiwan.

Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi (SKDI) Depkominfo Freddy H Tulung menyaksikan langsung peluncuran Indostar II di Kazakhstan. Freddy menilai, peluncuran satelit Indostar II akan membawa kemajuan dalam bidang penyiaran di Indonesia.“Atas nama Depkominfo, kami mengucapkan selamat kepada Indovision atas kesuksesan peluncuran satelit Indostar II,”ungkap Freddy.Setelah Indostar II mencapai orbit 107,7 BT pada sembilan hari setelah peluncuran, satelit itu akan menjalani berbagai pengujian fungsi. Setelah pengujian selesai, IndostarIIdiperkirakanmulaiberoperasi pada pertengahan Juni 2009. (ahmad fauzi)

Indovision Akan Luncurkan Satelit Indostar II

Kapanlagi.com - PT. Mediacitra Indostar (MCI) selaku operator Indovision akan meluncurkan satelit Indostar II di Kazakhstan pada, 30 April mendatang. "Satelit itu akan menggantikan satelit Indostar pertama yang telah diluncurkan sejak tahun 1997," kata GM Corporate Secretary PT MNC Sky Vision, Arya Mahendra Sinulingga, di Surabaya.

Ia mengemukakan hal itu di sela-sela mendampingi Presiden Direktur PT MCI Agus Mulyanto PhD dan Regulatory Affair Manager PT MCI, Muharzi Hasril, untuk penjajakan kerja sama dengan ITS Surabaya. Menurut dia, satelit Indostar itu merupakan satu-satunya satelit untuk broadcasting yang dimiliki Indonesia. "Indovision sendiri merupakan perusahaan swasta pertama di Indonesia yang memiliki satelit sendiri," katanya. Di Indonesia, katanya, hanya ada empat perusahaan yang memiliki satelit yakni Telkom, Indosat, PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), dan Indovision. "Satelit Indostar II itu dibuat di pabrik Boeing, California, AS. Nantinya, satelit akan diluncurkan dengan roket peluncur Proton milik Rusia. Rencananya, satelit sudah bisa dioperasikan pada Juni 2009," katanya. Dalam kunjungan itu, ia menyampaikan undangan kehormatan kepada ITS untuk menghadiri peluncuran Indostar II di Kazakhstan. "Kami hanya mengundang tiga perguruan tinggi, yakni ITS, ITB, dan UI," katanya. Dalam rintisan kerjasama itu, ITS dan Indovision akan mengembangkan content edukasi jarak jauh melalui salah satu kanal untuk masyarakat.

Tugas 2

Tugas 2 : Laporan Tentang IT-KPU di lihat dari Permasalahan dan Rekomendasi Alternatif Solusi


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia –Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa “Tak ada gading yang tak retak”. Laporan inipun masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca.

Akhir kata, terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya selama ini, penulis mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dihati. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, mei 2009

Penulis,

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai masalah yang menyertai TI KPU sebenarnya sudah terjadi sejak awal persiapannya. Tak percaya? Hal itu bisa dibuktikan ketika Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari tiba-tiba 'memecat' alias tak lagi mengikutsertakan Ketua dan Sekretaris Tim TI KPU Dr Bambang Edi Leksono dan Hemat Dwi Nuryanto dalam persiapan terakhir.Hafiz saat itu berkilah, awal mula perselisihan ini akibat KPU punya pandangan lain, sedangkan Ketua TI KPU juga punya pandangan berbeda. Perbedaan yang dimaksud salah satunya terkait penggunaan teknologi Intellegent Charracter Recognition (ICR), yang nantinya akan memegang peran penting dalam rekapitulasi suara.Tak pelak, kedua orang yang disingkirkan tersebut memiliki asa pesimistis terhadap lembaga yang pernah diperkuatnya tersebut. KPU sendiri, di tengah kejaran deadline hari pencontrengan dan segunung harapan dari masyarakat akhirnya mengambil langkah taktis dengan meminta bantuan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dengan dalih untuk menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara, BPPT tentu saja menerima 'todongan' tersebut. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 25 orang ahli TI dari BPPT diterjunkan untuk menyiapkan segala sesuatunya. Mendapati 'produk yang setengah jadi', tim BPPT pun mengakui tak memiliki target muluk untuk menyediakan sistem TI pemilu yang wah. Mereka pun mengeluarkan target klise, "kami upayakan semaksimal mungkin".

Hasilnya, ya 'semaksimal' yang diupayakan. Situs Tabulasi Nasional yang beralamat di tnp.kpu.go.id di awal kelahirannya sempat down sehingga sulit diakses sampai puncaknya suara yang masuk ke Tabulasi Nasional berjalan bak semut.Jika sudah begini, seperti biasa, setiap pihak yang ditodong coba mengeles bak jurus Tai Chi. Bahkan ironisnya, tim TI KPU dalam beberapa hari terakhir mendadak ngumpet, sulit sekali dihubungi. Telepon tak diangkat, SMS pun tak dibalas.

Pemerintah saja sudah gatal dengan lambatnya sistem TI Pemilu dalam mengirimkan dan menghitung suara. Bagaimana dengan masyarakat? Mereka pun pasti lebih tak sabar menanti siapa yang akan menjadi wakilnya di Senayan.
Sampai Selasa (21/4/2009) pagi, pukul 06:00, suara yang masuk ke Tabulasi Nasional KPU tercatat baru di kisaran 13 jutaan suara. Sementara target KPU sendiri, minimal 80 persen dari suara yang mencontreng dapat mereka tampung.Jumlah DPT pada Pemilu 2009 ini kurang lebih ada sekitar 171 juta, taruhlah ada 40 persen yang golput atau tak dapat kesempatan mencontreng. Dengan kata lain, ada sekitar 101 juta suara yang harusnya ditampung KPU.

Namun sudah dua minggu sejak hari pencontrengan berselang, suara yang masuk ke Tabulasi Nasional Pemilu yang bertempat di Hotel Borobudur nan jauh dari harapan.Padahal diikutsertakannya IT dalam Pesta Demokrasi lima tahunan ini sejatinya untuk lebih memudahkan dan mempercepat pekerjaan KPU, bukan malah sebaliknya. Alhasil, ketika hal itu terjadi beragam penilaian minor menyerang sistem TI KPU.

Senada dengan Dedy, M. Salahuddien, Wakil Ketua Indonesia Security Incident Responses Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) pun menjatuhkan penilaian serupa."Salah satu yang menurut kita merupakan pilihan fatal itu ya pemanfaatan teknologi ICR. Itu menurut saya gagal total. Kemarin 500 daerah menyatakan mereka tidak mampu atau kesulitan memanfaatkan teknologi itu, ada beritanya. Itu artinya, semua KPUD gagal menggunakan solusi tersebut," seloroh Didin -- sapaan akrabnya -- kepada detikINET beberapa waktu lalu.

Itu baru dari sisi ICR, belum lagi dilihat dari sisi SDM yang dinilai masih belum cakap dengan teknologi yang digunakan sehingga pekerjaan terhambat, server tak memadai hingga harus meminjam server BPPT dan masih banyak lagi rintangan menghadang. Didin bahkan berani menilai bahwa kinerja sistem TI KPU pada Pemilu 2009 ini tak lebih dari 25 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 2004 lalu.

KPU memang tak bisa disalahkan seutuhnya. Sebab, bagaimanapun juga mereka sudah berusaha dengan keras untuk menciptakan Pesta Demokrasi bagi rakyat Indonesia dengan tertib dan lancar.

Tanggal 9 April 2009, ya, di hari pemilu itu, apa yang Anda rasakan? Mengalami ekstse karena senang? Bingung karena begitu banyak pilihan terbentang di kertas suara? Biasa saja? Atau malah marah?

Teman saya, Herman, tidak mengalami empat rasa itu. Yang justru menyelimuti otaknya adalah perasaan menjadi bangsa terbodoh di dunia. “Di dunia itu tinggal dua negara yang pemilunya masih memakai sistem mencoblos: Kamerun dan Indonesia,” katanya mengutip pernyataan Jusuf Kalla. “Mencontreng sama saja dengan mencoblos. Sama-sama primitif.”

Saya bisa memahami pikirannya. Ia seperti kebanyakan orang kota saat ini. Bangun pagi, Herman langsung menyambar BlackBerry atau komputer jinjingnya. Ia menyalami teman-temannya di Facebook, Plurk, dan Twitter. Sarapan pagi dia lakukan sambil membaca “koran pagi” di laptopnya. Saat berangkat menuju tempat pemungutan suara, dia tak melupakan ponsel dan BlackBerry. Setengah jam menunggu namanya dipanggil, ia kembali tenggelam ke dunia maya, membaca berita pemilu terbaru dan hasil survei yang memenangkan sebuah partai biru. Jadi bisa dibayangkan orang secanggih Herman harus memilih secara primitif: mencontreng. Berhadapan dengan kertas suara sebesar koran, Herman cuma bisa menyumpah-nyumpah dalam hati. “Mengapa tidak memakai pemilu elektronik?” Lelaki itu menahan kesal. Ia merasa dipenjarakan oleh kebodohan kolektif para wakil rakyat yang memilih cara kuno untuk pemilu.

Di Brasil, negara yang sama miskinnya dengan Indonesia, telah melakukannya sejak dulu. Mereka menyiapkannya selama 15 tahun. India juga idem ditto. Sebanyak 714 juta pemilih dilayani dengan 1,1 alat pemilu elektronik (EVM). Anggaran pemilu pun bisa dihemat menjadi US$ 400 juta atau sekitar Rp 4 triliun. Bandingkan dengan anggaran pemilu Indonesia yang mencapai Rp 18 triliun. Bahkan Estonia pada akhir Desember 2008 membolehkan pemilih memberikan suara lewat ponsel. Setahun sebelumnya, negara mungil itu membolehkan orang memilih lewat Internet.

Herman sebenarnya ingin mencak-mencak, tapi dia takut dikira calon legislator yang gila karena tak mendapat suara. “Bayangkan,” katanya mencoba meyakinkan saya, “dengan Internet atau ponsel, sekali klik, data bisa langsung terkumpul di TPS, kecamatan, kabupaten, dan juga ke kantor pusat KPU.” Betapa mudahnya. Berapa anggaran yang bisa dihemat KPU?

Dengan cara contreng–agar kelihatan canggih dan ada cipratan proyek–KPU sekarang memilih mencetak kertas suara segede koran. Hasilnya dibawa ke kecamatan, lalu diboyong lagi ke kabupaten. Di sini baru kertas suara dipindai (scan). Hasilnya berupa gambar yang kemudian dengan teknologi pengenal huruf (optical character recognition), gambar itu menjadi angka-angka. Betapa repotnya.

Herman, yang tak pernah ikut kursus Kumon tapi jago matematika, bisa menunjukkan kelemahan sistem ini dengan gampang. Ujarnya, kalau untuk memasukkan data seperti itu, misalkan butuh waktu 5 menit, dalam satu jam baru terkumpul 12 suara. Sehari semalam berarti satu komputer cuma bisa mengolah 288 pemilih. “Oh, Tuhan, betapa lambatnya. Di TPS saya saja ada 400 pemilih. Kalau ada 100 juta pemilih, butuh berapa lama?”

Penjelasan Herman itu membangunkan pikiran saya. Oo, itulah salah satu yang membuat hasil tabulasi Komisi Pemilihan Umum ini lambat sekali, kalah jauh dibandingkan dengan Pemilu 2004, bahkan dengan Pemilu 1999. Pada pemilu sekarang, pada hari keenam (H+6) setelah pemilu baru terkumpul 8,19 juta suara (4,78 persen pemilih). Padahal, pada Pemilu 1999, pada H+6 sudah terkumpul 35,33 juta suara (30,1 persen pemilih). Pada Pemilu 2004, pada H+6 sudah terkumpul 76,5 juta suara (51,7 juta suara). Padahal anggaran komputer yang dipakai KPU kali ini tak jauh berbeda. Pada Pemilu 2004, dana yang dihabiskan untuk sistem ini Rp 312 miliar, sedangkan sekarang Rp 287,2 miliar. Jadi duit ratusan miliaran itu dicipratkan ke mana saja, ya? Apakah kuno itu indah?

Dana yang cukup besar telah digelontorkan untuk mewujudkan program tabulasi hasil Pemilu, tetapi hasil yang masuk masih jauh dari target yang dicanangkan oleh KPU.

Setelah diterpa masalah DPT dan juga masalah lainnya, KPU kini dipusingkan dengan masalah rekapitulasi hasil pemilu. Sistem penghitungan hasil Pemilu dengan menggunakan sistem elektronik atau dengan menggunakan sistem information technology (IT) diakui oleh pihak KPU tidak bisa memenuhi target yang diharapkan. Hal ini diungkapkan oleh anggota KPU Andi Nurpati yang ditemui seusai rapat pleno di gedung KPU Jakarta, Senin (20/4).

“IT itu memang sifatnya hanya memberi informasi lebih awal kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mengetahui lebih awal hasil Pemilu,” jelas Andi. Jadi hasil yang final, menurutnya, tetap akan menggunakan cara manual sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang.

Tabulasi secara elektronik ini dicanangkan oleh KPU dari tanggal 9 sampai 20 April. Pihak KPU menargetkan dapat menghasilkan data rekapitulasi hasil pemilu sampai 80%. Namun, sampai hari terakhir ini data yang masuk ke pusat tabulasi nasional baru sekitar 12 juta suara, tidak sampai 10 persen dari total jumlah pemilih di Indonesia yang terdaftar dalam DPT yang mencapai sekitar 171 juta pemilih. Hasil yang diperoleh dari tabulasi nasional ini, menurut Andi tidak sepenuhnya bisa dijadikan pedoman hasil Pemilu seluruhnya. Menurutnya, pedoman hasil pemilu menurut UU No 10 Tahun 2008 adalah dengan sistem manual. Untuk itu Ia menghimbau kepada seluruh peserta Pemilu dan seluruh masyarakat Indonesia agar menunggu hasil rekapitulasi manual yang akan dilakukan oleh pihak KPU. “Yang akan kita jadikan pedoman hasil pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang akan ditetapkan oleh KPU pada tanggal 9 Mei mendatang adalah dengan hasil rekapitulasi manual yang akan dilakukan secara berjenjang, yang kemudian nasioanal hanya menetapkan,” jelas Andi.

KPU akan melanjutkan proses rekapitulasi hasil pemilu nasional tidak lagi menggunakan sistem IT. Andi mengungkapkan bahwa pihak KPU akan mengoptimalkan cara rekapitulasi secara manual menggantikan sistem IT yang akan berakhir hari ini. “Kita akan laksanakan dimulai tanggal 27 April sampai 9 Mei yang akan datang. Karena itu hari ini kita memantabkan persiapan untuk real count secara manual,” jelasnya. Untuk persiapan itu, KPU juga akan melakukan simulasi-simulasi rekapitulasi dan juga tata cara pembacaan berita acara pada saat proses rekapitulasi manual nantinya.

BAB II

ISI

Permasalahan

IT KPU 2009

Pada hari H Pemilu 2009 kemarin (9 April 2009), saya mencoba mengakses alamat http://tnp.kpu.go.id, tetapi sampai malam dicoba selalu gagal. Situs tersebut akhirnya dapat dibuka setelah saya mencoba mengakses melalui jalur-jalur akses (baca: provider Internet) yang berbeda. Namun, tampilan situs masih kosong. Jika dibandingkan dengan waktu yang sama pada Pemilu 2004 (5 April 2009), pada sore hari data sudah mulai meluncur dan tampil di Internet.

Pada hari H+1 (10 April 2009) siang ini, saya kembali mencoba melihat situs tabulasi nasional perolehan suara pada Pemilu 2009 ini. Hasilnya, situs dapat diakses dari provider Internet yang saya pakai (yang kemarin tidak bisa mengakses ke alamat http://tnp.kpu.go.id), namun, data yang ditampilkan bisa dibilang sangat amat minim. Jumlah suara yang ditampilkan sangat jauh dibandingkan H+1 pada Pemilu 5 tahun yang lalu.

Minimnya jumlah total suara yang masuk ke datacenter IT KPU 2009 ini memang menyedihkan. Namun, dengan kompleksitas formulir tabulasi yang harus diisi di tingkat TPS dan tentu implikasinya pada saat input-ing data di tingkat operator lapangan IT KPU, bisa dimaklumi data yang masuk tidak bisa diharapkan cepat. Berdasarkan pengalaman pada IT KPU 2004, ekspektasi masyarakat terlalu besar, dengan menganggap bahwa kalkulasi IT KPU pasti akan “secepat kilat” mengumumkan hasil akhir total perolehan suara. Jarang orang sadar atau mau tahu bahwa IT KPU tidak mungkin dapat berbuat banyak jika di tingkat operator lapangan (dulu di level kecamatan, sekarang di level kota/kabupaten) tidak memasukkan data ke aplikasi IT KPU! Dari mana situs TNP dapat menampilkan data jika tidak ada data yang dimasukkan di tingkat bawah??! Dulu, berbagai sebab musabab terjadinya keterlambatan input data; mulai dari pihak KPPS yang tidak segera memasukkan laporan rekapitulasinya karena ingin laporannya benar-benar valid alias tidak ada kesalahan, ada juga yang pihak kecamatan tidak mengijinkan operator (yang kebanyakan adalah relawan mahasiswa dan pelajar/guru SMK) lembur di kantor kecamatan (harus dikerjakan di jam kerja, padahal jam kerja di kecamatan itu baru mulai jam 10-an, jam 12 sudah istirahat, masuk lagi jam 2 siang, jam 3 sudah mau pulang!)… dapat dibayangkan jika ada kecamatan yang baru bisa melaporkan seluruh data-nya setelah lewat dari 1-2 minggu kemudian!

Dengan segala keterbatasannya, jika 5 tahun lalu jaringan IT KPU mencapai tingkat kecamatan di seluruh Indonesia, kini “mundur” hanya sampai tingkat kabupaten/kota. Namun, “kemunduran” paling utama yang saya lihat adalah hilang-nya fungsi kontrol dan akuntabilitas dalam transparansi hasil Pemilu. Jika pada 5 tahun lalu kita semua dapat melihat dan membuktikan sendiri hasil perolehan suara di TPS kita masing-masing (dengan mencocokkan data yang ada di web), kini tampilan IT KPU tidak lagi menampilkan fitur tersebut.

Tampilan perolehan suara pada situs http://tnp.kpu.go.id kini menurut saya tidak lebih dari perluasan quick count yang banyak muncul belakangan ini. Kenapa begitu? Quick count diselenggarakan untuk menghitung dengan cepat, melalui metode statistik, untuk memprediksi hasil akhir perolehan suara. Kata-kata penting dari quick count adalah hitung cepat, statistik, prediksi dan hasil akhir. Jika sampling data yang dilakukan oleh quick count misalnya hanya 5% dari total populasi TPS (saya belum mendapatkan angka pastinya), IT KPU memberikan “sampling” lebih baik saja (jika mengikuti apa yang terjadi di Pemilu 2004, “sampling” ini mencapai 80-an %). Tidak lebih dari memberikan “sampling” yang lebih baik. Karena kini IT KPU pun sama-sama tidak bisa memvisualisasikan perolehan suara dalam bentuk tabel sampai ke level TPS (setidaknya sampai pada saat saya membuat tulisan ini). IT KPU kini sama seperti quick count. Sama-sama tidak dapat dipakai untuk menunjukkan, apalagi membuktikan adanya manipulasi data, karena data yang ditampilkan “tiba-tiba” ya seperti itu. Tanpa keberadaan drill-down data sampai di tingkat TPS. Dengan sifatnya yang seperti itu, IT KPU 2009 tidak lebih sebagai “quick count” resmi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum, dengan keutamaan berupa tingkat sampling yang lebih baik (asumsi: 80%). Tidak ada kelebihan lain, selain menjadi lebih mahal secara implementasi (dibanding quick count yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga).

Kesalahan Pemilihan IT

Akibat salah dalam pemilihan teknologi pada Pemilu 2009 ini, Wakil Pemimpin Tim Sistem Informasi Pemilu Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga sebagai tim ahli teknologi dan informasi (TI) KPU, Hemat Dwi Nuryanto mengkhawatirkan akan terjadi keterlambatan dalam tabulasi nasional pada pemilu tahun ini.

Menurutnya tabulasi nasional elektronik pada Pemilu 2009 mengalami kemunduran dibandingkan dengan Pemilu 2004 silam. Nuryanto menilai KPU salah dalam memilih teknologi untuk keperlun penghitungan cepat.
Sebetulnya sudah ada teknologi yang lebih maju dibandingkan teknologi yang dipakai di Pemilu 2004. Tim TI pun juga telah merekomendasikan optical marking reader (OMR) kepada KPU. Sistem ini sebelumnya telah dipakai di setiap Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Namun KPU malah memilih intelligence character recognition (ICR) yang belum terbukti kemapuannya dan membutuhkan banyak waktu untuk validasi karena hasil bacanya yang kerap salah.

Dengan teknologi OMR ini pun sebetulnya KPU sudah melkukan penghematan biaya dari Rp 200 miliar pada 2004 menjadi Rp 75 miliar. Namun rekomendasi ini tetap saja ditolak oleh KPU.

Penggunaan teknologi ICR yang pada awalnya menuai kekhawatiran akhirnya benar-benar menjadi biang kesalahan. Seperti diketahui, dengan sistem ini, formulir C1-IT, yakni hasil rekap perolehan suara di TPS yang dibuat khusus dan ditulis tangan, akan dikirim ke kelurahan dan diteruskan ke KPUD Kabupaten/Kota untuk discan. Hasil scanning yang berbentuk image ini kemudian ditafsirkan ke dalam bentuk angka dan huruf lewat ICR. Hasilnya lantas dikirim ke KPU pusat untuk diproses dan ditayangkan di website khusus sebagai hasil perolehan suara per TPS. Namun, itu kan harapan di atas kertas. Sementara implementasinya tak semanis itu. Dikatakan praktisi TI dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ir Dedy Syafwan MT, kerawanan sistem TI KPU justru terletak pada ICR itu sendiri.

Akurasi pemindahan dari gambar ke angka dan huruf belum teruji. Angka 7 di gambar bisa teridentifikasi sebagai angka 1, angka 6 bisa jadi 0, dan sebagainya. Demikian juga huruf dari a hingga z, bisa berubah dari aslinya karena form C1-TI ditulis tangan. Mengingat adanya potensi kesalahan ini, kata Dedy, perlu proses validasi dan verifikasi atas hasil ICR untuk memastikan kebenaran datanya. Jika tidak, sangat mungkin hasil ICR berbeda dengan data yang tertulis di formulirnya. "Apalagi jumlah formulirnya mencapai ribuan mengingat jumlah TPS per kabupaten/kota bisa lebih dari 1.000, dan tiap TPS menyetor 8 lembar formulir," ujarnya.

500 KPUD Diprediksi Alami Masalah ICR

Tim IT KPU memprediksi, sekira 500 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) akan mengalami permasalahan terkait teknologi Intelligent CharacterRecognition(ICR).
"Banyak KPUD yang belum mengerti tentang ICR. Ini terbukti dengan banyaknya laporan dan pertanyaan yang masuk ke helpdesk IT KPU," ujar wakil tim IT KPU Gembong Wibawanto, saat ditemui okezone di Gedung KPU, Jakarta, Senin (13/4/2009).

Gembong mengungkapkan, dari sisi teknologi tim IT KPU menyatakan sudah cukup siap, namun tidak demikian dari sisi SDM dan masalah proses penggunaan yang masih kacau. Masalah proses misalnya, yang ternyata harus terhalang karena perbedaan ukuran kertas di setiap KPUD. Sedangkan dari sisi SDM, KPU mengakui masih ada saja SDM yang belum mengerti. Padahal permasalahan ini telah diantisipasi oleh KPU dengan mengadakan bimbingan teknologi selama dua hari.

Sayangnya, rumor yang beredar, perhelatan Bimtek tersebut disinyalir dijadikan ajang promosi produk vendor. Namun hal tersebut dibantah oleh perwakilan vendor Orchid Rio Andita Setyabakti.

Menurut Rio, bimtek benar-benar diadakan untuk mempersiapkan SDM agar siap dengan aplikasi pemilu yang ada. Bahkan acara ini dihadiri oleh perwakilan 471 kabupaten/kota.

"Tidak ada monopoli. Semuanya fair!" tandas Rio.

Saat ini tim IT KPU memiliki sekira 45 orang helpdesk dengan sistem hadir 3 shift selama 24 jam. 45 orang tersebut telah dididik hingga sesuai dengan SOP yang telah ditentukan KPU.

Bahkan, Gembong menambahkan, IT KPU pun telah diperkuat dengan penambahan 5 sever pinjaman dari BPPT, yang sudah dipasang hari ini.

Penghitungan C-1 IT Bermasalah

Kertas Data Suara C1 IT Tak Standar sehingga Tak Bisa Dibaca Scanner, dan Terancam Pakai Manual

Para caleg yang ingin segera mengetahui nasibnya, apakah bakal lolos atau tidak dalam Pemilu 9 April lalu, harus bersabar. Sebab, proses tabulasi yang dilakukan KPU, baik di tingkat pusat maupun daerah, hingga kemarin masih berjalan lamban. Salah satu penyebab yang mencolok adalah penerapan IT dalam proses tabulasi tersebut tak berjalan semestinya.

Seperti yang kemarin diungkap Husni Fahmi, kepala Tim IT KPU. Dia menjelaskan, seluruh faktor dalam proses tabulasi nasional pemilu memiliki andil atas kelambanan tersebut. Namun, salah satu yang dinilai bermasalah adalah kualitas formulir C1 IT yang digunakan untuk pengiriman data dari daerah ke pusat. "Kertas C1 IT tidak memiliki standar yang baik," kata Husni Fahmi kepada Jawa Pos di Jakarta kemarin (18/4). Formulir C1 IT berisi data penghitungan dan perolehan suara di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS). Formulir elektronik itu diisi petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang bekerja di setiap TPS. Formulir itulah yang menjadi data utama untuk dipindai (scanning), selanjutnya dikirim dari KPU kabupaten/kota ke server KPU pusat. Menurut Fahmi, kertas C1 IT yang tidak standar menyebabkan proses pengenalan oleh software untuk scanning, ICR (identity character recognizing) menjadi rendah. Dalam banyak kasus, ketika hasil pengenalan kertas rendah, beban operator untuk mengoreksi menjadi besar. "Akibatnya, waktu yang diperlukan untuk proses satu lembar menjadi lama," kata Fahmi.

Seperti diberitakan kemarin, pada pemilu kali ini perangkat IT yang diberlakukan untuk memproses tabulasi perolehan suara berbeda dengan Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, di tingkat PPK (panitia pemilihan kecamatan) form C1 IT dimasukkan melalui komputer dan dikirim melalui jaringan ke pusat tabulasi data KPU. Cara ini terbukti lebih cepat. Sebagai perbandingan, pada Pemilu 2004, dalam satu minggu, proses tabulasi perolehan suara hampir rampung.
Pada pemilu kali ini, dalam masa satu minggu sejak penghitungan, data yang masuk ke pusat tabulasi nasional pemilu di KPU baru 12 juta suara sah. Itu diperkirakan baru tujuh persen suara jika mengacu pada DPT (daftar pemilih tetap) yang jumlahnya mencapai 171 juta.

Pada pemilu kali ini, pemrosesan data dilakukan di KPUD kabupaten/kota. Di sini tulisan tangan di form C1 IT dibaca dengan scanner melalui teknologi ICR sebagai angka-angka yang dapat ditabulasikan ke KPU Pusat. Di sinilah letak terjadinya persoalan itu. Seperti yang diungkap Husni Fahmi, kertas C1 IT dianggap tidak standar, sehingga tak bisa dibaca oleh scanner. Fahmi yang juga staf ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu menyatakan, untuk standar pada kondisi ideal, satu lembar formulir C1 IT yang bagus hanya memerlukan waktu lima menit untuk scanning. Dalam posisi itu, software ICR harus bisa membaca kertas C1 IT dengan akurasi di atas 95 persen. Saat ini hal tersebut sulit didapat. Sebab, operator ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan scanning. "Hal ini bisa lebih lama apabila penulisan form C1 IT oleh petugas KPPS juga salah," terang Fahmi. Terhadap kualitas scanner, Fahmi menyatakan sebenarnya tidak menjadi masalah. Saat ini tim IT Pemilu sudah memiliki help desk (layanan bantuan) untuk mengatasi masalah scanner dari tim IT dan masing-masing vendor. "Seluruh vendor (merek) scanner sudah kami perbantukan di help desk," kata Fahmi.

Sebagai informasi, pengadaan formulir C1 IT memang di luar rekomendasi tim IT KPU yang berasal dari BPPT. KPU baru melakukan MoU dengan BPPT pada 12 Maret 2009. Sedangkan pengumuman pemenang lelang untuk pengadaan formulir tipe C dan D sudah dilakukan KPU pada 27 Januari 2009. Ada sembilan konsorsium yang memenangkan lelang pengadaan dua formulir tersebut. Di luar masalah fomulir C1 IT, tim IT menyebut masalah lambannya proses tabulasi pemilu adalah kurangnya operator yang memadai untuk mengirim data. Bayangkan, dengan ratusan TPS di setiap kabupaten, hanya ada dua operator yang bekerja di masing-masing sif. "Itu tidak sebanding dengan data entri TPS-nya," kata Fahmi.

Scanning Tak Bisa Dioperasionalkan

Proses penghitungan dan rekapitulasi perolehan suara Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 tidak saja ditemukan bermasalah di tingkat KPPS, PPS dan PPK, melainkan KPU Kabupaten Mojokerto juga dipuyengkan dengan berbagai masalah penghitungan. Salah satunya, tidak dapat difungsikannya scanning C-1 IT yang digunakan untuk rekapitulasi dan penghitungan suara tingkat DPR RI.

Akibatnya, KPU hanya melakukan scanning lampiran C-1 IT dan langsung mengirimkan ke KPU pusat tanpa disertai rekapitulasi perolehan suara. ''Makanya sampai sekarang kami belum bisa mengirimkan data ke KPU pusat, karena scaning itu bermasalah," ujar Ketua KPU Kabupaten Mojokerto, Didik Hendro Puspito, kemarin. Memang, sebelumnya KPU mengeluhkan tidak dapat difungsikannya dua unit scaning C-1 IT merek Fujitsu yang dibeli dari PT Matahari MKM Surabaya, seharga Rp 50 juta. Satu unit masing-masing seharga Rp 25 juta-an.

Dengan alasan tidak dilengkapi program pembacaan C-1 IT DPR RI. Namun, dikemudian hari pihak PT Matahari MKM Surabaya meyakinkan bahwa Fujitsu yang disebut telah mendapatkan rekomendasi dan melalui uji coba KPU pusat mampu digunakan sesuai kebutuhan. ''Pernah memang kita coba lagi dapat difungsikan. Tapi begitu hari H pemilu scaning yang sudah kami beli tidak dapat digunakan sesuai kebutuhan," katanya.

Diungkapkan Didik, masalah yang dihadapi operator IT KPU Kabupaten terkait scaning tersebut pertama, scanner sebelumnya telah mengalami 4 kali up date software untuk dioperasionalkan sebagaimana mestinya, namun masih belum bisa digunakan. Kedua, mulai H-2 hingga saat ini KPU hingga beberapa kali KPU sulit menghubungi help desk ke pemilu. Ketiga, proses pembacaan data kertas C-1 IT DPR RI dan lampiran model C-1 IT DPR antara tampilan data gambar dengan data tabulasi keakurasiannya nol persen. ''Sehingga kita kesulitan untuk meng-update data," jelasnya.

Dengan begitu KPU menduga, dua unit scanner tersebut ditenggarai formulir C-1 IT DPR RI dan lampiran model C-1 IT tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan. ''Terutama pada tanda dot-matrik pada setiap lembar formulir berbeda. Sehingga proses pembacaan formulir tidak sempurna," papar Didik.

Kendati demikian, agar KPU bisa mengirimkan updating data C-1 IT DPR RI pada KPU pusat, KPU lantas menyarankan tetap melakukan proses scanning image tanpa menggunakan program ICR (transfer imagescanning dan langsung mengirimkan ke pusat. Soal penghitugan dan perolehan suara pusat yang melakukan," tandas Didik. dalam bentuk program). ''Karena sampai saat sistem tidak berjalan tabulasi data tidak bisa kita lakukan. Untuk menyiasati itu kami hanya melakukan

Problem Scanner di KPUD Kabupaten/Kota

KPUD Kota Mojokerto mengaku sudah mengirimkan hasil penghitungan suara Pileg 2009 ke KPU pusat. Namun, pengirimannya tidak menggunakan scanner, tapi memanfaatkan sistem cadangan, yaitu situng (sistem hitung) manual. ''Situng juga milik KPU. Namun, memang untuk cadangan kalau scanner ada kendala,'' ungkap Ketua KPU Kota Mojokerto Chusnun Amin kemarin.

Menurut dia, untuk penggunaan scanner, pihaknya terkendala pengadaan. Sebab, menggunakan scanner harus mengganti software seluruh komputer milik KPU Kota Mojokerto. Untuk itu, dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. ''Padahal, untuk mengganti software tidak ada anggarannya,'' katanya.

Problem terkait penggunaan scanner juga terjadi di KPUD Kabupaten Mojokerto. Menurut Didik Hendro Puspito dari KPUD Kabupaten Mojokerto, scanner memang tak bisa difungsikan dengan baik karena tidak bisa membaca form C1 IT. Dua unit scanner C1 IT tersebut bermerek Fujitsu yang dibeli di PT Matahari MKM Surabaya seharga Rp 50 juta. Namun, ternyata scanner tersebut tidak disertai program pembacaan C1 IT DPR RI. Padahal, pihak PT Matahari MKM Surabaya meyakinkan bahwa merek Fujitsu itu telah mendapat rekomendasi dan melalui uji coba KPU pusat mampu digunakan sesuai kebutuhan. ''Pernah memang kita coba lagi. Tapi, begitu hari H pemilu, scanner itu tidak dapat digunakan sesuai kebutuhan,'' katanya.

Di Sidoarjo kendala yang sama juga terjadi. Dari 1.900 formulir C1 IT yang dikirim melalui scan, baru 430 yang terbaca. Diduga penyebab keterlambatan adalah jaringan yang sibuk dan proses pengisian yang keliru. Kapokja Pencalegan KPUD Sidoarjo Ansori mengakui banyaknya hambatan penghitungan menggunakan sistem formulir C1 IT. Pengiriman data tidak langsung diterima. Alasannya, harus menunggu antrean. "Saat kami tanyakan di tingkatan pusat, memang itu alasannya," ujarnya.

Berdasarkan pemantauan di lapangan, proses pengiriman di KPUD Sidoarjo masih berlangsung hingga kemarin. Di ruang lantai dua KPUD, semua alat dipersiapkan. Begitu data masuk, petugas yang menunggu langsung mengirimkannya ke pusat. Selain kendala jaringan, Ansori menyebut proses pengisian dari panitia pemungutan suara (PPS) sebagai penyebab lain. Banyak data penulisan pada formulir C1 IT yang keliru. Akibatnya, data tersebut tidak terbaca di scanner. Dia memisalkan penulisan angka yang keluar dari kotak formulir. Penulisan semacam itu menyebabkan scanner tidak membacanya. Karena itu, perlu dilakukan pengisian ulang.

Rekomendasi Alternatif Solusi

Optimalisasi Sistem Informasi KPU

Pascapencontrengan nasional merupakan masa yang sangat rawan dan sensitif. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem informasi KPU yang mampu menghitung secara cepat dan akurat serta tersedianya tabulasi bisa diakses secara luas. Konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sangat mewarnai perjalanan demokrasi di muka bumi. Namun, ada faktor penting menyangkut sistem informasi, yang dipilih untuk mendukung penyelenggaraan Pemilu 2009. Hal itu, sebaiknya mempertimbangkan proven technology dan melihat track record serta reputasi penyedianya. Dengan demikian, Pemilu 2009 tidak digunakan sebagai lahan uji coba suatu produk atau teknologi apa pun. Pilihan teknologi harus process driven, yakni berorientasi kepada perbaikan, bukan vendor driven yang semata berorientasi pada penyedia teknologi tertentu. Pengalaman pahit terhadap kinerja teknologi informasi Pemilu 2004 yang banyak mendapat kritikan hendaknya tidak terulang lagi.

Sebaiknya, ada transformasi yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan solusi jitu, terhadap kompleksitas sistem pemilu di negeri ini. Transformasi itu mengacu Grand Design Sistem Informasi Komisi Pemilihan Umum (GDSI-KPU). Fasilitas input data, database hasil penghitungan suara, dan sistem tabulasi merupakan unsur utama dari penghitungan suara elektronik (e-Counting atau Situng). Sedangkan e-Counting atau Situng hanyalah salah satu komponen (aplikasi) dari 28 komponen dari GDSI-KPU, yang dibutuhkan untuk mendukung tahapan pemilu. Ibarat bangunan, GDSI-KPU adalah rancangannya, Sistem Informasi KPU (Sipemilu) adalah bangunannya dan e-Counting atau Situng adalah pintunya. Fasilitas input data barbasis Optical Recognition Technology (ORT) dan tabulasi adalah pintu utama. Sedangkan fasilitas input data dengan cara manual adalah pintu darurat. Kajian tim ahli KPU tentang fasilitas input data menyatakan bahwa dari sisi kualitas yang mencakup kemudahan pengisian form C1-IT, kemudahan dan kecepatan entry data, akurasi, integritas, dan akuntabilitas data serta faktor keamanan, maka penggunaan ORT jauh lebih baik bila dibanding dengan input data manual.

Proven technology untuk mematangkan sistem informasi bagi lembaga penyelenggara pemilu, telah menjadi keharusan bagi negara demokrasi. Seperti halnya di Amerika Serikat, pernah terjadi kesalahan atau kekurangan dalam sistem teknologi informasi pemilunya. Kesalahan itu biasa disebut compatibility problem. Oleh karena itu, Amerika Serikat sekalipun membutuhkan proses pematangan sistem informasi pemilunya, yakni Delacroy. Sekadar catatan, Delacroy Voting System merupakan suatu perkembangan teknologi untuk mengatasi perhitungan suara secara manual dan menggantinya dengan sistem komputerisasi suara. Kongres telah menyetujui perusahaan tersebut dan menyatakan bahwa perusahaan itu mempunyai peran dan terus mengembangkan metode pemungutan suara, yang lebih praktis dan sangat akurat. Proses pematangan itu di Indonesia analog dengan kajian tim ahli TI KPU, yang menyatakan bahwa proyeksi sistem pemungutan dan penghitungan suara di masa depan, akan menggunakan e-Voting yang didukung teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Barcode Recognition (OBR) sebagai alat untuk menjamin auditabiltas dan akuntabilitas e-Voting.

Mestinya, bangsa Indonesia tidak mengulang pengalaman pahit terhadap sistem informasi Pemilu 2004. Di mana tabulasi data yang disajikan, ternyata kecepatan, kelengkapan dan akurasinya kurang memenuhi tuntutan atau aspirasi rakyat. Pada waktu itu, beberapa pihak sampai mendesak KPU untuk menghentikan penghitungan suara lewat teknologi informasi. Namun, proses demokrasi mustahil dilangsungkan secara ideal tanpa melibatkan TIK. Keterlibatan TIK dalam pemilu dikategorikan menjadi tiga hal, yakni sebagai tools, enabler, dan transformer. Keterlibatan sebagai tools adalah berperan sebagai pendukung jalannya organisasi penyelenggara pemilu dan komputerisasi dari back office. Di sini, TIK masih merupakan pelengkap dalam tahapan pemilu. Sedangkan sebagai enabler terwujud, jika TIK sudah menjadi penggerak tahapan pemilu serta menghasilkan efisiensi yang signifikan bagi organisasi penyelenggara pemilu. Sedangkan TIK sebagai transformer yaitu sebagai penentu arah transformasi organisasi penyelenggara pemilu menuju efektivitas pemilu, reduksi biaya, dan waktu secara signifikan dengan prinsip otomatisasi dan rekayasa ulang proses (process reengineering). Pemilu 2004 dan pemilu sebelum era reformasi, menjadikan TIK baru sebatas tools dan pelengkap. Pada penyelenggaraan Pemilu 2009 ini, mestinya TIK ditingkatkan fungsinya sebagai enabler. Pada Pemilu 2019 diproyeksikan sudah terjadi proses transformer, di mana pemungutan suara sudah bisa dilakukan dengan prinsip otomatisasi, rekayasa ulang proses, dan termasuk penggunaan mesin e-Voting generasi baru yang memenuhi kriteria verifiability dan auditability.

Dalam Pemilu 2009, input data suara secara elektronik direncanakan menggunakan prinsip Integrated Input Technology (IIT), yang terdiri dari Intelligent Character Recognition (ICR), Optical Mark Reader (OMR), data entry melalui aplikasi, dan data entry dengan digital form (e-Form). Dengan prinsip itu, data/file (misal hasil scaning form C1) dan database hasil konversi serta tabulasinya dapat disimpan lebih baik dan menjadi arsip KPU provinsi/kabupaten/kota yang dapat ditampilkan kembali dengan mudah dan cepat apabila diperlukan. Jika pada suatu saat terjadi sengketa hasil penghitungan suara, file arsip tersebut dapat dimunculkan dan dijadikan salah satu alat bukti yang valid. Dengan demikian, hasil penghitungan suara pemilu tersebut, menjadi lebih akuntabel dan auditabel. Solusi teknologi itu sangat membantu mewujudkan tabulasi hasil pemilu secara cepat dan menarik. Dengan demikian, rakyat tidak dirundung situasi ketidakpastian. Sungguh tontonan yang menarik bila penayangan hasil penghitungan suara didukung perangkat lunak tabulasi grafis berbasis business intelligence dan digital dashboard, yang merupakan suatu sistem informasi yang berfungsi untuk menampilkan data hasil penghitungan suara di setiap wilayah maupun daerah pemilihan, untuk calon anggota DPR dan DPD yang mempunyai kemampuan analisis data (analisis politik/demokrasi) dan memiliki fasilitas reporting yang lengkap berbasis GIS ((geographic information system) dan digital dashboard dengan tampilan grafis.

Sistem IT KPU saat ini kurang pantas digunakan untuk Pemilihan Presiden

Pertama-tama perlu saya kemukakan bahwa selama ini saya tidak terlalu menyuarakan opini negatif terhadap sistem IT KPU (tnp dan www) karena berbagai alasan yang terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Pada awalnya saya beranggapan bahwa KPU sudah memiliki tim yang (semestinya) dapat menjalankan misinya. Namun, pada perjalanannya mulai nampak bahwa sistem kurang dikelola secara optimal sehingga menimbulkan banyak masalah. (I documented the problems elsewhere. Perhaps in the future I will put them here.)

Masalah yang menjadi perhatian saya adalah sisi security, yang kebetulan merupakan topik yang saya minati. Dalam pandangan saya, masalah yang terbesar adalah sisi cara pengelolaan dan penggunaan teknologi yang digunakan. Saya ambil contoh.

Dalam proses perhitungan yang lalu terdapat banyak masalah yang dapat dikatakan akibat dari keteledoran (lalai). Data-data yang seharusnya masih nol, ternyata berisi angka. Capacity planning kurang diperhatikan sehingga kisruh masalah bandwidth. Puncaknya adalah adanya berhasilnya sistem dijebol sehingga data-data nama partai berhasil diubah. (Ada partai kolor ijo segala!)
Tuntutan dari sebagian orang yang melek IT bahwa sistem harus diaudit ditanggapi dengan pernyataan bahwa tidak ada standar audit IT. Padahal audit teknologi yang terkait dengan security sudah lama saya lakukan. Sangat disayangkan bahwa KPU belum mengerti adanya bidang ini. Kemudian ramai orang membicarakan masalah audit IT ini, meski umumnya membahas dari kerangka information system (IS). Tidak salah. Tapi mungkin banyak yang lupa (atau belum tahu) bahwa ada juga audit dari sisi teknologi (IT).

Hari ini, Rabu 19 Mei 2004, ada sebuah artikel Koran Tempo (hal 4.) berjudul "KPU TETAP GUNAKAN TEKNOLOGI INFORMASI". Tidak ada salahnya. Namun kalimat yang membuat saya terhenyak, dan juga memicu tulisan ini adalah pernyataan dari Ketua KPU bapak Nazaruddin Sjamsuddin tentang audit KPU, "Yang audit KPU sendiri". (emphasis dari saya). Kemudian dicontohkan bahwa perusahaan telekomunikasi dan perusahaan listrik fasilitasnya tidak pernah diaudit. Memang tidak banyak orang yang tahu (apa perlu diworo-woro) bahwa saya pernah mengaudit sebagian dari fasilitas beberapa perusahaan telekomunikasi. Audit pun harus dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. (Unfortunately, I don't have access to ISO 17799 handy. If I recall correctly, it's there.) Bagaimana pertanggung-jawaban hasil audit jika dilakukan oleh diri sendiri?. Dalam institusi finansial, misalnya, ada bagian audit yang melakukan audit terhadap divisi IT. Audit terhadap IT tidak dapat dilakukan oleh divisi IT itu sendiri. Demikian pula penanganan insiden, tidak dilakukan oleh divisi IT tapi oleh sebuah incident response team yang terpisah (yang mungkin langsung bertanggung jawab ke CEO). Mengapa hal ini dilakukan? Karena harus ada separation of duty (lagi-lagi ini term dari ISO 17799).

Belakangan ini dilaporkan bahwa ada kelompok (yang menyebutkan diri sebagai TNP Auditor Team) yang sudah berhasil mendapatkan sebagian data-data dari server KPU. Data-data tersebut adalah program yang digunakan oleh IT KPU. IT KPU mengkonfirmasi bahwa data-data tersebut bukan dari mesin production melainkan dari mesin development. Production atau bukan, informasi sudah bocor. (Lain ceritanya jika memang source codenya sengaja di-open-source-kan.) Lagi-lagi kelalaian.

Melihat gejala-gejala seperti ini, nampaknya saya harus bersuara. Opini saya, seperti judul tulisan ini: "Sistem IT KPU saat ini kurang pantas digunakan untuk Pemiihan Presiden". Sistem harus diaudit oleh pihak ketiga yang independen. Mumpung masih ada waktu. Ini bukan sistem untuk main-main akan tetapi sistem yang menyangkut hajat orang banyak. Apa yang sudah dilakukan sekarang belum cukup. It's not good enough.

Sebagai catatan, agar tidak timbul kesalahpahaman perlu saya jelaskan bahwa meskipun pekerjaan saya adalah mengaudit (teknologi dan non-teknologi) security IT, namun saya TIDAK TERTARIK DAN TIDAK BERSEDIA untuk mengaudit sistem IT KPU. Silahkan pihak lain yang melakukannya. Jika memang dianggap tidak ada yang kompeten di Indonesia, silahkan hire auditor asing saja. Sekalian lebih independen (mungkin?). Yang penting, sistem harus diaudit. Itu tuntutan saya sebagai warga negara Indonesia. Silahkan mau didengar atau tidak. At least, saya sudah menyuarakan suara saya.

Jelang Pilpres IT KPU Benah Diri

Pemilihan presiden yang akan berlangsung tidak lama lagi memaksa KPU untuk berpikir keras agar kekacauan yang terjadi di pemilihan legislatif tidak terulang kembali. Untuk itu KPU segera lakukan audit yang akan dlasanakan oleh para pakar IT. Praktisi IT dari ITB Dedy Syafwan audit yang akan dilakukan adalah bukan audit formal menyangkut penggunaan keuangan, melainkan audit oleh para pakar tentang kelayakan penggunaan teknologinya. Elemen yang perlu diaudit seperti jaringan, software, SDM, dan lain-lain.

Selain itu kedepannya akan dilakukan semacam seminar yang akan melibatkan berbagai pakar IT di Indonesia. Tujuannya agar mereka dapat memberi masukan terkait penggunaan IT yang tepat untuk digunakan pada pemilihan presiden mendatang. Dengan adanya seminar ini, imbuh Dedy, diharapkan muncul solusi bagi IT KPU yang sudah berwujud cetak biru (blueprint) yang bisa dijadikan pedoman bagi KPU. "Inilah yang harus dikerjakan untuk pilpres sehingga tidak terjadi kasus seperti di pileg," tandas Dedy.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Permasalahan IT KPU yang utama adalah kesalahan dalam pemilihan IT, hal inilah yang akhirnya menimbulkan adanya masalah-masalah lain dalam IT KPU. Berbagai permasalahan yang di timbulkan tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Penggunaan teknologi ICR yang merupakan akar dari permasalahan yang ada. Intelligence character recognition (ICR) yang belum terbukti kemapuannya dan membutuhkan banyak waktu untuk validasi karena hasil bacanya yang kerap salah.

2. 500 KPUD Diprediksi Alami Masalah ICR

3. Penghitungan C-1 IT Bermasalah yaitu Kertas Data Suara C1 IT Tak Standar sehingga Tak Bisa Dibaca Scanner, dan Terancam Pakai Manual

4. Scanning Tak Bisa Dioperasionalkan sehingga adanya banyak problem scanner di KPUD kabupaten/kota

Saran

Dengan adanya bebagai permasalahan IT KPU di atas maka penulis memberikan beberapa saran antara lain sebagai berikut :

1. Di perlukan adanya optimalisasi Sistem Informasi KPU yang di harapkan dapat meminimalkan permasalahan IT KPU

2. Sistem IT KPU yang di pakai sekarang ini kurang pantas digunakan untuk Pemilihan Presiden sehingga menjelang pemilihan presiden IT KPU harus benah diri terlebih dahulu.

Untuk mendukung pelaksanaan tahapan pemilu khususnya dalam pengadaan perangkat teknologi informasi kpu untuk mendukung Pemilu maka perlu segera diadakan sidang pleno KPU untuk memutuskan:

1. Peraturan KPU tentang Sistem Informasi Pemilihan Umum (Sipemilu)

2. Keputusan KPU tentang Pelaksanaan Tabulasi Penghitungan Suara Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Untuk mengimplementasikan peraturan dan keputusan tersebut, perlu segera dilaksanakan proses pengadaan Sistem Informasi / Teknologi Informasi KPU yang harus dimulai paling lambat minggu ke-3 bulan Januari 2009, terutama untuk pengadaan:

1. Sewa Jaringan Teknologi Informasi Komisi Pemilihan Umum

2. Perangkat Keras Teknologi Informasi Untuk Mendukung Tabulasi Pemilu Legislatif

3. Sistem Informasi Pemilihan Umum (Sipemilu), Perangkat Lunak Aplikasi Optical Mark Reader (OMR), Sistem Tabulasi, Tabulasi Grafis Dan Dashboard Hasil Penghitungan Suara Pemilu Legislatif Komisi Pemilihan Umum

4. Form C1-IT yang dilaksanakan disetiap KPU Provinsi

5. Perangkat input data dan tabulasi (scanner, OMR, dan database tabulasi lokal) di KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi

yang dilanjutkan dengan proses pengadaan yang lainnya.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia –Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa “Tak ada gading yang tak retak”. Laporan inipun masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca.

Akhir kata, terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya selama ini, penulis mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dihati. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, mei 2009

Penulis,

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai masalah yang menyertai TI KPU sebenarnya sudah terjadi sejak awal persiapannya. Tak percaya? Hal itu bisa dibuktikan ketika Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari tiba-tiba 'memecat' alias tak lagi mengikutsertakan Ketua dan Sekretaris Tim TI KPU Dr Bambang Edi Leksono dan Hemat Dwi Nuryanto dalam persiapan terakhir.Hafiz saat itu berkilah, awal mula perselisihan ini akibat KPU punya pandangan lain, sedangkan Ketua TI KPU juga punya pandangan berbeda. Perbedaan yang dimaksud salah satunya terkait penggunaan teknologi Intellegent Charracter Recognition (ICR), yang nantinya akan memegang peran penting dalam rekapitulasi suara.Tak pelak, kedua orang yang disingkirkan tersebut memiliki asa pesimistis terhadap lembaga yang pernah diperkuatnya tersebut. KPU sendiri, di tengah kejaran deadline hari pencontrengan dan segunung harapan dari masyarakat akhirnya mengambil langkah taktis dengan meminta bantuan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dengan dalih untuk menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara, BPPT tentu saja menerima 'todongan' tersebut. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 25 orang ahli TI dari BPPT diterjunkan untuk menyiapkan segala sesuatunya. Mendapati 'produk yang setengah jadi', tim BPPT pun mengakui tak memiliki target muluk untuk menyediakan sistem TI pemilu yang wah. Mereka pun mengeluarkan target klise, "kami upayakan semaksimal mungkin".

Hasilnya, ya 'semaksimal' yang diupayakan. Situs Tabulasi Nasional yang beralamat di tnp.kpu.go.id di awal kelahirannya sempat down sehingga sulit diakses sampai puncaknya suara yang masuk ke Tabulasi Nasional berjalan bak semut.Jika sudah begini, seperti biasa, setiap pihak yang ditodong coba mengeles bak jurus Tai Chi. Bahkan ironisnya, tim TI KPU dalam beberapa hari terakhir mendadak ngumpet, sulit sekali dihubungi. Telepon tak diangkat, SMS pun tak dibalas.

Pemerintah saja sudah gatal dengan lambatnya sistem TI Pemilu dalam mengirimkan dan menghitung suara. Bagaimana dengan masyarakat? Mereka pun pasti lebih tak sabar menanti siapa yang akan menjadi wakilnya di Senayan.
Sampai Selasa (21/4/2009) pagi, pukul 06:00, suara yang masuk ke Tabulasi Nasional KPU tercatat baru di kisaran 13 jutaan suara. Sementara target KPU sendiri, minimal 80 persen dari suara yang mencontreng dapat mereka tampung.Jumlah DPT pada Pemilu 2009 ini kurang lebih ada sekitar 171 juta, taruhlah ada 40 persen yang golput atau tak dapat kesempatan mencontreng. Dengan kata lain, ada sekitar 101 juta suara yang harusnya ditampung KPU.

Namun sudah dua minggu sejak hari pencontrengan berselang, suara yang masuk ke Tabulasi Nasional Pemilu yang bertempat di Hotel Borobudur nan jauh dari harapan.Padahal diikutsertakannya IT dalam Pesta Demokrasi lima tahunan ini sejatinya untuk lebih memudahkan dan mempercepat pekerjaan KPU, bukan malah sebaliknya. Alhasil, ketika hal itu terjadi beragam penilaian minor menyerang sistem TI KPU.

Senada dengan Dedy, M. Salahuddien, Wakil Ketua Indonesia Security Incident Responses Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) pun menjatuhkan penilaian serupa."Salah satu yang menurut kita merupakan pilihan fatal itu ya pemanfaatan teknologi ICR. Itu menurut saya gagal total. Kemarin 500 daerah menyatakan mereka tidak mampu atau kesulitan memanfaatkan teknologi itu, ada beritanya. Itu artinya, semua KPUD gagal menggunakan solusi tersebut," seloroh Didin -- sapaan akrabnya -- kepada detikINET beberapa waktu lalu.

Itu baru dari sisi ICR, belum lagi dilihat dari sisi SDM yang dinilai masih belum cakap dengan teknologi yang digunakan sehingga pekerjaan terhambat, server tak memadai hingga harus meminjam server BPPT dan masih banyak lagi rintangan menghadang. Didin bahkan berani menilai bahwa kinerja sistem TI KPU pada Pemilu 2009 ini tak lebih dari 25 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 2004 lalu.

KPU memang tak bisa disalahkan seutuhnya. Sebab, bagaimanapun juga mereka sudah berusaha dengan keras untuk menciptakan Pesta Demokrasi bagi rakyat Indonesia dengan tertib dan lancar.

Tanggal 9 April 2009, ya, di hari pemilu itu, apa yang Anda rasakan? Mengalami ekstse karena senang? Bingung karena begitu banyak pilihan terbentang di kertas suara? Biasa saja? Atau malah marah?

Teman saya, Herman, tidak mengalami empat rasa itu. Yang justru menyelimuti otaknya adalah perasaan menjadi bangsa terbodoh di dunia. “Di dunia itu tinggal dua negara yang pemilunya masih memakai sistem mencoblos: Kamerun dan Indonesia,” katanya mengutip pernyataan Jusuf Kalla. “Mencontreng sama saja dengan mencoblos. Sama-sama primitif.”

Saya bisa memahami pikirannya. Ia seperti kebanyakan orang kota saat ini. Bangun pagi, Herman langsung menyambar BlackBerry atau komputer jinjingnya. Ia menyalami teman-temannya di Facebook, Plurk, dan Twitter. Sarapan pagi dia lakukan sambil membaca “koran pagi” di laptopnya. Saat berangkat menuju tempat pemungutan suara, dia tak melupakan ponsel dan BlackBerry. Setengah jam menunggu namanya dipanggil, ia kembali tenggelam ke dunia maya, membaca berita pemilu terbaru dan hasil survei yang memenangkan sebuah partai biru. Jadi bisa dibayangkan orang secanggih Herman harus memilih secara primitif: mencontreng. Berhadapan dengan kertas suara sebesar koran, Herman cuma bisa menyumpah-nyumpah dalam hati. “Mengapa tidak memakai pemilu elektronik?” Lelaki itu menahan kesal. Ia merasa dipenjarakan oleh kebodohan kolektif para wakil rakyat yang memilih cara kuno untuk pemilu.

Di Brasil, negara yang sama miskinnya dengan Indonesia, telah melakukannya sejak dulu. Mereka menyiapkannya selama 15 tahun. India juga idem ditto. Sebanyak 714 juta pemilih dilayani dengan 1,1 alat pemilu elektronik (EVM). Anggaran pemilu pun bisa dihemat menjadi US$ 400 juta atau sekitar Rp 4 triliun. Bandingkan dengan anggaran pemilu Indonesia yang mencapai Rp 18 triliun. Bahkan Estonia pada akhir Desember 2008 membolehkan pemilih memberikan suara lewat ponsel. Setahun sebelumnya, negara mungil itu membolehkan orang memilih lewat Internet.

Herman sebenarnya ingin mencak-mencak, tapi dia takut dikira calon legislator yang gila karena tak mendapat suara. “Bayangkan,” katanya mencoba meyakinkan saya, “dengan Internet atau ponsel, sekali klik, data bisa langsung terkumpul di TPS, kecamatan, kabupaten, dan juga ke kantor pusat KPU.” Betapa mudahnya. Berapa anggaran yang bisa dihemat KPU?

Dengan cara contreng–agar kelihatan canggih dan ada cipratan proyek–KPU sekarang memilih mencetak kertas suara segede koran. Hasilnya dibawa ke kecamatan, lalu diboyong lagi ke kabupaten. Di sini baru kertas suara dipindai (scan). Hasilnya berupa gambar yang kemudian dengan teknologi pengenal huruf (optical character recognition), gambar itu menjadi angka-angka. Betapa repotnya.

Herman, yang tak pernah ikut kursus Kumon tapi jago matematika, bisa menunjukkan kelemahan sistem ini dengan gampang. Ujarnya, kalau untuk memasukkan data seperti itu, misalkan butuh waktu 5 menit, dalam satu jam baru terkumpul 12 suara. Sehari semalam berarti satu komputer cuma bisa mengolah 288 pemilih. “Oh, Tuhan, betapa lambatnya. Di TPS saya saja ada 400 pemilih. Kalau ada 100 juta pemilih, butuh berapa lama?”

Penjelasan Herman itu membangunkan pikiran saya. Oo, itulah salah satu yang membuat hasil tabulasi Komisi Pemilihan Umum ini lambat sekali, kalah jauh dibandingkan dengan Pemilu 2004, bahkan dengan Pemilu 1999. Pada pemilu sekarang, pada hari keenam (H+6) setelah pemilu baru terkumpul 8,19 juta suara (4,78 persen pemilih). Padahal, pada Pemilu 1999, pada H+6 sudah terkumpul 35,33 juta suara (30,1 persen pemilih). Pada Pemilu 2004, pada H+6 sudah terkumpul 76,5 juta suara (51,7 juta suara). Padahal anggaran komputer yang dipakai KPU kali ini tak jauh berbeda. Pada Pemilu 2004, dana yang dihabiskan untuk sistem ini Rp 312 miliar, sedangkan sekarang Rp 287,2 miliar. Jadi duit ratusan miliaran itu dicipratkan ke mana saja, ya? Apakah kuno itu indah?

Dana yang cukup besar telah digelontorkan untuk mewujudkan program tabulasi hasil Pemilu, tetapi hasil yang masuk masih jauh dari target yang dicanangkan oleh KPU.

Setelah diterpa masalah DPT dan juga masalah lainnya, KPU kini dipusingkan dengan masalah rekapitulasi hasil pemilu. Sistem penghitungan hasil Pemilu dengan menggunakan sistem elektronik atau dengan menggunakan sistem information technology (IT) diakui oleh pihak KPU tidak bisa memenuhi target yang diharapkan. Hal ini diungkapkan oleh anggota KPU Andi Nurpati yang ditemui seusai rapat pleno di gedung KPU Jakarta, Senin (20/4).

“IT itu memang sifatnya hanya memberi informasi lebih awal kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mengetahui lebih awal hasil Pemilu,” jelas Andi. Jadi hasil yang final, menurutnya, tetap akan menggunakan cara manual sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang.

Tabulasi secara elektronik ini dicanangkan oleh KPU dari tanggal 9 sampai 20 April. Pihak KPU menargetkan dapat menghasilkan data rekapitulasi hasil pemilu sampai 80%. Namun, sampai hari terakhir ini data yang masuk ke pusat tabulasi nasional baru sekitar 12 juta suara, tidak sampai 10 persen dari total jumlah pemilih di Indonesia yang terdaftar dalam DPT yang mencapai sekitar 171 juta pemilih. Hasil yang diperoleh dari tabulasi nasional ini, menurut Andi tidak sepenuhnya bisa dijadikan pedoman hasil Pemilu seluruhnya. Menurutnya, pedoman hasil pemilu menurut UU No 10 Tahun 2008 adalah dengan sistem manual. Untuk itu Ia menghimbau kepada seluruh peserta Pemilu dan seluruh masyarakat Indonesia agar menunggu hasil rekapitulasi manual yang akan dilakukan oleh pihak KPU. “Yang akan kita jadikan pedoman hasil pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang akan ditetapkan oleh KPU pada tanggal 9 Mei mendatang adalah dengan hasil rekapitulasi manual yang akan dilakukan secara berjenjang, yang kemudian nasioanal hanya menetapkan,” jelas Andi.

KPU akan melanjutkan proses rekapitulasi hasil pemilu nasional tidak lagi menggunakan sistem IT. Andi mengungkapkan bahwa pihak KPU akan mengoptimalkan cara rekapitulasi secara manual menggantikan sistem IT yang akan berakhir hari ini. “Kita akan laksanakan dimulai tanggal 27 April sampai 9 Mei yang akan datang. Karena itu hari ini kita memantabkan persiapan untuk real count secara manual,” jelasnya. Untuk persiapan itu, KPU juga akan melakukan simulasi-simulasi rekapitulasi dan juga tata cara pembacaan berita acara pada saat proses rekapitulasi manual nantinya.

BAB II

ISI

Permasalahan

IT KPU 2009

Pada hari H Pemilu 2009 kemarin (9 April 2009), saya mencoba mengakses alamat http://tnp.kpu.go.id, tetapi sampai malam dicoba selalu gagal. Situs tersebut akhirnya dapat dibuka setelah saya mencoba mengakses melalui jalur-jalur akses (baca: provider Internet) yang berbeda. Namun, tampilan situs masih kosong. Jika dibandingkan dengan waktu yang sama pada Pemilu 2004 (5 April 2009), pada sore hari data sudah mulai meluncur dan tampil di Internet.

Pada hari H+1 (10 April 2009) siang ini, saya kembali mencoba melihat situs tabulasi nasional perolehan suara pada Pemilu 2009 ini. Hasilnya, situs dapat diakses dari provider Internet yang saya pakai (yang kemarin tidak bisa mengakses ke alamat http://tnp.kpu.go.id), namun, data yang ditampilkan bisa dibilang sangat amat minim. Jumlah suara yang ditampilkan sangat jauh dibandingkan H+1 pada Pemilu 5 tahun yang lalu.

Minimnya jumlah total suara yang masuk ke datacenter IT KPU 2009 ini memang menyedihkan. Namun, dengan kompleksitas formulir tabulasi yang harus diisi di tingkat TPS dan tentu implikasinya pada saat input-ing data di tingkat operator lapangan IT KPU, bisa dimaklumi data yang masuk tidak bisa diharapkan cepat. Berdasarkan pengalaman pada IT KPU 2004, ekspektasi masyarakat terlalu besar, dengan menganggap bahwa kalkulasi IT KPU pasti akan “secepat kilat” mengumumkan hasil akhir total perolehan suara. Jarang orang sadar atau mau tahu bahwa IT KPU tidak mungkin dapat berbuat banyak jika di tingkat operator lapangan (dulu di level kecamatan, sekarang di level kota/kabupaten) tidak memasukkan data ke aplikasi IT KPU! Dari mana situs TNP dapat menampilkan data jika tidak ada data yang dimasukkan di tingkat bawah??! Dulu, berbagai sebab musabab terjadinya keterlambatan input data; mulai dari pihak KPPS yang tidak segera memasukkan laporan rekapitulasinya karena ingin laporannya benar-benar valid alias tidak ada kesalahan, ada juga yang pihak kecamatan tidak mengijinkan operator (yang kebanyakan adalah relawan mahasiswa dan pelajar/guru SMK) lembur di kantor kecamatan (harus dikerjakan di jam kerja, padahal jam kerja di kecamatan itu baru mulai jam 10-an, jam 12 sudah istirahat, masuk lagi jam 2 siang, jam 3 sudah mau pulang!)… dapat dibayangkan jika ada kecamatan yang baru bisa melaporkan seluruh data-nya setelah lewat dari 1-2 minggu kemudian!

Dengan segala keterbatasannya, jika 5 tahun lalu jaringan IT KPU mencapai tingkat kecamatan di seluruh Indonesia, kini “mundur” hanya sampai tingkat kabupaten/kota. Namun, “kemunduran” paling utama yang saya lihat adalah hilang-nya fungsi kontrol dan akuntabilitas dalam transparansi hasil Pemilu. Jika pada 5 tahun lalu kita semua dapat melihat dan membuktikan sendiri hasil perolehan suara di TPS kita masing-masing (dengan mencocokkan data yang ada di web), kini tampilan IT KPU tidak lagi menampilkan fitur tersebut.

Tampilan perolehan suara pada situs http://tnp.kpu.go.id kini menurut saya tidak lebih dari perluasan quick count yang banyak muncul belakangan ini. Kenapa begitu? Quick count diselenggarakan untuk menghitung dengan cepat, melalui metode statistik, untuk memprediksi hasil akhir perolehan suara. Kata-kata penting dari quick count adalah hitung cepat, statistik, prediksi dan hasil akhir. Jika sampling data yang dilakukan oleh quick count misalnya hanya 5% dari total populasi TPS (saya belum mendapatkan angka pastinya), IT KPU memberikan “sampling” lebih baik saja (jika mengikuti apa yang terjadi di Pemilu 2004, “sampling” ini mencapai 80-an %). Tidak lebih dari memberikan “sampling” yang lebih baik. Karena kini IT KPU pun sama-sama tidak bisa memvisualisasikan perolehan suara dalam bentuk tabel sampai ke level TPS (setidaknya sampai pada saat saya membuat tulisan ini). IT KPU kini sama seperti quick count. Sama-sama tidak dapat dipakai untuk menunjukkan, apalagi membuktikan adanya manipulasi data, karena data yang ditampilkan “tiba-tiba” ya seperti itu. Tanpa keberadaan drill-down data sampai di tingkat TPS. Dengan sifatnya yang seperti itu, IT KPU 2009 tidak lebih sebagai “quick count” resmi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum, dengan keutamaan berupa tingkat sampling yang lebih baik (asumsi: 80%). Tidak ada kelebihan lain, selain menjadi lebih mahal secara implementasi (dibanding quick count yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga).

Kesalahan Pemilihan IT

Akibat salah dalam pemilihan teknologi pada Pemilu 2009 ini, Wakil Pemimpin Tim Sistem Informasi Pemilu Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga sebagai tim ahli teknologi dan informasi (TI) KPU, Hemat Dwi Nuryanto mengkhawatirkan akan terjadi keterlambatan dalam tabulasi nasional pada pemilu tahun ini.

Menurutnya tabulasi nasional elektronik pada Pemilu 2009 mengalami kemunduran dibandingkan dengan Pemilu 2004 silam. Nuryanto menilai KPU salah dalam memilih teknologi untuk keperlun penghitungan cepat.
Sebetulnya sudah ada teknologi yang lebih maju dibandingkan teknologi yang dipakai di Pemilu 2004. Tim TI pun juga telah merekomendasikan optical marking reader (OMR) kepada KPU. Sistem ini sebelumnya telah dipakai di setiap Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Namun KPU malah memilih intelligence character recognition (ICR) yang belum terbukti kemapuannya dan membutuhkan banyak waktu untuk validasi karena hasil bacanya yang kerap salah.

Dengan teknologi OMR ini pun sebetulnya KPU sudah melkukan penghematan biaya dari Rp 200 miliar pada 2004 menjadi Rp 75 miliar. Namun rekomendasi ini tetap saja ditolak oleh KPU.

Penggunaan teknologi ICR yang pada awalnya menuai kekhawatiran akhirnya benar-benar menjadi biang kesalahan. Seperti diketahui, dengan sistem ini, formulir C1-IT, yakni hasil rekap perolehan suara di TPS yang dibuat khusus dan ditulis tangan, akan dikirim ke kelurahan dan diteruskan ke KPUD Kabupaten/Kota untuk discan. Hasil scanning yang berbentuk image ini kemudian ditafsirkan ke dalam bentuk angka dan huruf lewat ICR. Hasilnya lantas dikirim ke KPU pusat untuk diproses dan ditayangkan di website khusus sebagai hasil perolehan suara per TPS. Namun, itu kan harapan di atas kertas. Sementara implementasinya tak semanis itu. Dikatakan praktisi TI dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ir Dedy Syafwan MT, kerawanan sistem TI KPU justru terletak pada ICR itu sendiri.

Akurasi pemindahan dari gambar ke angka dan huruf belum teruji. Angka 7 di gambar bisa teridentifikasi sebagai angka 1, angka 6 bisa jadi 0, dan sebagainya. Demikian juga huruf dari a hingga z, bisa berubah dari aslinya karena form C1-TI ditulis tangan. Mengingat adanya potensi kesalahan ini, kata Dedy, perlu proses validasi dan verifikasi atas hasil ICR untuk memastikan kebenaran datanya. Jika tidak, sangat mungkin hasil ICR berbeda dengan data yang tertulis di formulirnya. "Apalagi jumlah formulirnya mencapai ribuan mengingat jumlah TPS per kabupaten/kota bisa lebih dari 1.000, dan tiap TPS menyetor 8 lembar formulir," ujarnya.

500 KPUD Diprediksi Alami Masalah ICR

Tim IT KPU memprediksi, sekira 500 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) akan mengalami permasalahan terkait teknologi Intelligent CharacterRecognition(ICR).
"Banyak KPUD yang belum mengerti tentang ICR. Ini terbukti dengan banyaknya laporan dan pertanyaan yang masuk ke helpdesk IT KPU," ujar wakil tim IT KPU Gembong Wibawanto, saat ditemui okezone di Gedung KPU, Jakarta, Senin (13/4/2009).

Gembong mengungkapkan, dari sisi teknologi tim IT KPU menyatakan sudah cukup siap, namun tidak demikian dari sisi SDM dan masalah proses penggunaan yang masih kacau. Masalah proses misalnya, yang ternyata harus terhalang karena perbedaan ukuran kertas di setiap KPUD. Sedangkan dari sisi SDM, KPU mengakui masih ada saja SDM yang belum mengerti. Padahal permasalahan ini telah diantisipasi oleh KPU dengan mengadakan bimbingan teknologi selama dua hari.

Sayangnya, rumor yang beredar, perhelatan Bimtek tersebut disinyalir dijadikan ajang promosi produk vendor. Namun hal tersebut dibantah oleh perwakilan vendor Orchid Rio Andita Setyabakti.

Menurut Rio, bimtek benar-benar diadakan untuk mempersiapkan SDM agar siap dengan aplikasi pemilu yang ada. Bahkan acara ini dihadiri oleh perwakilan 471 kabupaten/kota.

"Tidak ada monopoli. Semuanya fair!" tandas Rio.

Saat ini tim IT KPU memiliki sekira 45 orang helpdesk dengan sistem hadir 3 shift selama 24 jam. 45 orang tersebut telah dididik hingga sesuai dengan SOP yang telah ditentukan KPU.

Bahkan, Gembong menambahkan, IT KPU pun telah diperkuat dengan penambahan 5 sever pinjaman dari BPPT, yang sudah dipasang hari ini.

Penghitungan C-1 IT Bermasalah

Kertas Data Suara C1 IT Tak Standar sehingga Tak Bisa Dibaca Scanner, dan Terancam Pakai Manual

Para caleg yang ingin segera mengetahui nasibnya, apakah bakal lolos atau tidak dalam Pemilu 9 April lalu, harus bersabar. Sebab, proses tabulasi yang dilakukan KPU, baik di tingkat pusat maupun daerah, hingga kemarin masih berjalan lamban. Salah satu penyebab yang mencolok adalah penerapan IT dalam proses tabulasi tersebut tak berjalan semestinya.

Seperti yang kemarin diungkap Husni Fahmi, kepala Tim IT KPU. Dia menjelaskan, seluruh faktor dalam proses tabulasi nasional pemilu memiliki andil atas kelambanan tersebut. Namun, salah satu yang dinilai bermasalah adalah kualitas formulir C1 IT yang digunakan untuk pengiriman data dari daerah ke pusat. "Kertas C1 IT tidak memiliki standar yang baik," kata Husni Fahmi kepada Jawa Pos di Jakarta kemarin (18/4). Formulir C1 IT berisi data penghitungan dan perolehan suara di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS). Formulir elektronik itu diisi petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang bekerja di setiap TPS. Formulir itulah yang menjadi data utama untuk dipindai (scanning), selanjutnya dikirim dari KPU kabupaten/kota ke server KPU pusat. Menurut Fahmi, kertas C1 IT yang tidak standar menyebabkan proses pengenalan oleh software untuk scanning, ICR (identity character recognizing) menjadi rendah. Dalam banyak kasus, ketika hasil pengenalan kertas rendah, beban operator untuk mengoreksi menjadi besar. "Akibatnya, waktu yang diperlukan untuk proses satu lembar menjadi lama," kata Fahmi.

Seperti diberitakan kemarin, pada pemilu kali ini perangkat IT yang diberlakukan untuk memproses tabulasi perolehan suara berbeda dengan Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, di tingkat PPK (panitia pemilihan kecamatan) form C1 IT dimasukkan melalui komputer dan dikirim melalui jaringan ke pusat tabulasi data KPU. Cara ini terbukti lebih cepat. Sebagai perbandingan, pada Pemilu 2004, dalam satu minggu, proses tabulasi perolehan suara hampir rampung.
Pada pemilu kali ini, dalam masa satu minggu sejak penghitungan, data yang masuk ke pusat tabulasi nasional pemilu di KPU baru 12 juta suara sah. Itu diperkirakan baru tujuh persen suara jika mengacu pada DPT (daftar pemilih tetap) yang jumlahnya mencapai 171 juta.

Pada pemilu kali ini, pemrosesan data dilakukan di KPUD kabupaten/kota. Di sini tulisan tangan di form C1 IT dibaca dengan scanner melalui teknologi ICR sebagai angka-angka yang dapat ditabulasikan ke KPU Pusat. Di sinilah letak terjadinya persoalan itu. Seperti yang diungkap Husni Fahmi, kertas C1 IT dianggap tidak standar, sehingga tak bisa dibaca oleh scanner. Fahmi yang juga staf ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu menyatakan, untuk standar pada kondisi ideal, satu lembar formulir C1 IT yang bagus hanya memerlukan waktu lima menit untuk scanning. Dalam posisi itu, software ICR harus bisa membaca kertas C1 IT dengan akurasi di atas 95 persen. Saat ini hal tersebut sulit didapat. Sebab, operator ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan scanning. "Hal ini bisa lebih lama apabila penulisan form C1 IT oleh petugas KPPS juga salah," terang Fahmi. Terhadap kualitas scanner, Fahmi menyatakan sebenarnya tidak menjadi masalah. Saat ini tim IT Pemilu sudah memiliki help desk (layanan bantuan) untuk mengatasi masalah scanner dari tim IT dan masing-masing vendor. "Seluruh vendor (merek) scanner sudah kami perbantukan di help desk," kata Fahmi.

Sebagai informasi, pengadaan formulir C1 IT memang di luar rekomendasi tim IT KPU yang berasal dari BPPT. KPU baru melakukan MoU dengan BPPT pada 12 Maret 2009. Sedangkan pengumuman pemenang lelang untuk pengadaan formulir tipe C dan D sudah dilakukan KPU pada 27 Januari 2009. Ada sembilan konsorsium yang memenangkan lelang pengadaan dua formulir tersebut. Di luar masalah fomulir C1 IT, tim IT menyebut masalah lambannya proses tabulasi pemilu adalah kurangnya operator yang memadai untuk mengirim data. Bayangkan, dengan ratusan TPS di setiap kabupaten, hanya ada dua operator yang bekerja di masing-masing sif. "Itu tidak sebanding dengan data entri TPS-nya," kata Fahmi.

Scanning Tak Bisa Dioperasionalkan

Proses penghitungan dan rekapitulasi perolehan suara Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 tidak saja ditemukan bermasalah di tingkat KPPS, PPS dan PPK, melainkan KPU Kabupaten Mojokerto juga dipuyengkan dengan berbagai masalah penghitungan. Salah satunya, tidak dapat difungsikannya scanning C-1 IT yang digunakan untuk rekapitulasi dan penghitungan suara tingkat DPR RI.

Akibatnya, KPU hanya melakukan scanning lampiran C-1 IT dan langsung mengirimkan ke KPU pusat tanpa disertai rekapitulasi perolehan suara. ''Makanya sampai sekarang kami belum bisa mengirimkan data ke KPU pusat, karena scaning itu bermasalah," ujar Ketua KPU Kabupaten Mojokerto, Didik Hendro Puspito, kemarin. Memang, sebelumnya KPU mengeluhkan tidak dapat difungsikannya dua unit scaning C-1 IT merek Fujitsu yang dibeli dari PT Matahari MKM Surabaya, seharga Rp 50 juta. Satu unit masing-masing seharga Rp 25 juta-an.

Dengan alasan tidak dilengkapi program pembacaan C-1 IT DPR RI. Namun, dikemudian hari pihak PT Matahari MKM Surabaya meyakinkan bahwa Fujitsu yang disebut telah mendapatkan rekomendasi dan melalui uji coba KPU pusat mampu digunakan sesuai kebutuhan. ''Pernah memang kita coba lagi dapat difungsikan. Tapi begitu hari H pemilu scaning yang sudah kami beli tidak dapat digunakan sesuai kebutuhan," katanya.

Diungkapkan Didik, masalah yang dihadapi operator IT KPU Kabupaten terkait scaning tersebut pertama, scanner sebelumnya telah mengalami 4 kali up date software untuk dioperasionalkan sebagaimana mestinya, namun masih belum bisa digunakan. Kedua, mulai H-2 hingga saat ini KPU hingga beberapa kali KPU sulit menghubungi help desk ke pemilu. Ketiga, proses pembacaan data kertas C-1 IT DPR RI dan lampiran model C-1 IT DPR antara tampilan data gambar dengan data tabulasi keakurasiannya nol persen. ''Sehingga kita kesulitan untuk meng-update data," jelasnya.

Dengan begitu KPU menduga, dua unit scanner tersebut ditenggarai formulir C-1 IT DPR RI dan lampiran model C-1 IT tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan. ''Terutama pada tanda dot-matrik pada setiap lembar formulir berbeda. Sehingga proses pembacaan formulir tidak sempurna," papar Didik.

Kendati demikian, agar KPU bisa mengirimkan updating data C-1 IT DPR RI pada KPU pusat, KPU lantas menyarankan tetap melakukan proses scanning image tanpa menggunakan program ICR (transfer imagescanning dan langsung mengirimkan ke pusat. Soal penghitugan dan perolehan suara pusat yang melakukan," tandas Didik. dalam bentuk program). ''Karena sampai saat sistem tidak berjalan tabulasi data tidak bisa kita lakukan. Untuk menyiasati itu kami hanya melakukan

Problem Scanner di KPUD Kabupaten/Kota

KPUD Kota Mojokerto mengaku sudah mengirimkan hasil penghitungan suara Pileg 2009 ke KPU pusat. Namun, pengirimannya tidak menggunakan scanner, tapi memanfaatkan sistem cadangan, yaitu situng (sistem hitung) manual. ''Situng juga milik KPU. Namun, memang untuk cadangan kalau scanner ada kendala,'' ungkap Ketua KPU Kota Mojokerto Chusnun Amin kemarin.

Menurut dia, untuk penggunaan scanner, pihaknya terkendala pengadaan. Sebab, menggunakan scanner harus mengganti software seluruh komputer milik KPU Kota Mojokerto. Untuk itu, dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. ''Padahal, untuk mengganti software tidak ada anggarannya,'' katanya.

Problem terkait penggunaan scanner juga terjadi di KPUD Kabupaten Mojokerto. Menurut Didik Hendro Puspito dari KPUD Kabupaten Mojokerto, scanner memang tak bisa difungsikan dengan baik karena tidak bisa membaca form C1 IT. Dua unit scanner C1 IT tersebut bermerek Fujitsu yang dibeli di PT Matahari MKM Surabaya seharga Rp 50 juta. Namun, ternyata scanner tersebut tidak disertai program pembacaan C1 IT DPR RI. Padahal, pihak PT Matahari MKM Surabaya meyakinkan bahwa merek Fujitsu itu telah mendapat rekomendasi dan melalui uji coba KPU pusat mampu digunakan sesuai kebutuhan. ''Pernah memang kita coba lagi. Tapi, begitu hari H pemilu, scanner itu tidak dapat digunakan sesuai kebutuhan,'' katanya.

Di Sidoarjo kendala yang sama juga terjadi. Dari 1.900 formulir C1 IT yang dikirim melalui scan, baru 430 yang terbaca. Diduga penyebab keterlambatan adalah jaringan yang sibuk dan proses pengisian yang keliru. Kapokja Pencalegan KPUD Sidoarjo Ansori mengakui banyaknya hambatan penghitungan menggunakan sistem formulir C1 IT. Pengiriman data tidak langsung diterima. Alasannya, harus menunggu antrean. "Saat kami tanyakan di tingkatan pusat, memang itu alasannya," ujarnya.

Berdasarkan pemantauan di lapangan, proses pengiriman di KPUD Sidoarjo masih berlangsung hingga kemarin. Di ruang lantai dua KPUD, semua alat dipersiapkan. Begitu data masuk, petugas yang menunggu langsung mengirimkannya ke pusat. Selain kendala jaringan, Ansori menyebut proses pengisian dari panitia pemungutan suara (PPS) sebagai penyebab lain. Banyak data penulisan pada formulir C1 IT yang keliru. Akibatnya, data tersebut tidak terbaca di scanner. Dia memisalkan penulisan angka yang keluar dari kotak formulir. Penulisan semacam itu menyebabkan scanner tidak membacanya. Karena itu, perlu dilakukan pengisian ulang.

Rekomendasi Alternatif Solusi

Optimalisasi Sistem Informasi KPU

Pascapencontrengan nasional merupakan masa yang sangat rawan dan sensitif. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem informasi KPU yang mampu menghitung secara cepat dan akurat serta tersedianya tabulasi bisa diakses secara luas. Konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sangat mewarnai perjalanan demokrasi di muka bumi. Namun, ada faktor penting menyangkut sistem informasi, yang dipilih untuk mendukung penyelenggaraan Pemilu 2009. Hal itu, sebaiknya mempertimbangkan proven technology dan melihat track record serta reputasi penyedianya. Dengan demikian, Pemilu 2009 tidak digunakan sebagai lahan uji coba suatu produk atau teknologi apa pun. Pilihan teknologi harus process driven, yakni berorientasi kepada perbaikan, bukan vendor driven yang semata berorientasi pada penyedia teknologi tertentu. Pengalaman pahit terhadap kinerja teknologi informasi Pemilu 2004 yang banyak mendapat kritikan hendaknya tidak terulang lagi.

Sebaiknya, ada transformasi yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan solusi jitu, terhadap kompleksitas sistem pemilu di negeri ini. Transformasi itu mengacu Grand Design Sistem Informasi Komisi Pemilihan Umum (GDSI-KPU). Fasilitas input data, database hasil penghitungan suara, dan sistem tabulasi merupakan unsur utama dari penghitungan suara elektronik (e-Counting atau Situng). Sedangkan e-Counting atau Situng hanyalah salah satu komponen (aplikasi) dari 28 komponen dari GDSI-KPU, yang dibutuhkan untuk mendukung tahapan pemilu. Ibarat bangunan, GDSI-KPU adalah rancangannya, Sistem Informasi KPU (Sipemilu) adalah bangunannya dan e-Counting atau Situng adalah pintunya. Fasilitas input data barbasis Optical Recognition Technology (ORT) dan tabulasi adalah pintu utama. Sedangkan fasilitas input data dengan cara manual adalah pintu darurat. Kajian tim ahli KPU tentang fasilitas input data menyatakan bahwa dari sisi kualitas yang mencakup kemudahan pengisian form C1-IT, kemudahan dan kecepatan entry data, akurasi, integritas, dan akuntabilitas data serta faktor keamanan, maka penggunaan ORT jauh lebih baik bila dibanding dengan input data manual.

Proven technology untuk mematangkan sistem informasi bagi lembaga penyelenggara pemilu, telah menjadi keharusan bagi negara demokrasi. Seperti halnya di Amerika Serikat, pernah terjadi kesalahan atau kekurangan dalam sistem teknologi informasi pemilunya. Kesalahan itu biasa disebut compatibility problem. Oleh karena itu, Amerika Serikat sekalipun membutuhkan proses pematangan sistem informasi pemilunya, yakni Delacroy. Sekadar catatan, Delacroy Voting System merupakan suatu perkembangan teknologi untuk mengatasi perhitungan suara secara manual dan menggantinya dengan sistem komputerisasi suara. Kongres telah menyetujui perusahaan tersebut dan menyatakan bahwa perusahaan itu mempunyai peran dan terus mengembangkan metode pemungutan suara, yang lebih praktis dan sangat akurat. Proses pematangan itu di Indonesia analog dengan kajian tim ahli TI KPU, yang menyatakan bahwa proyeksi sistem pemungutan dan penghitungan suara di masa depan, akan menggunakan e-Voting yang didukung teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Barcode Recognition (OBR) sebagai alat untuk menjamin auditabiltas dan akuntabilitas e-Voting.

Mestinya, bangsa Indonesia tidak mengulang pengalaman pahit terhadap sistem informasi Pemilu 2004. Di mana tabulasi data yang disajikan, ternyata kecepatan, kelengkapan dan akurasinya kurang memenuhi tuntutan atau aspirasi rakyat. Pada waktu itu, beberapa pihak sampai mendesak KPU untuk menghentikan penghitungan suara lewat teknologi informasi. Namun, proses demokrasi mustahil dilangsungkan secara ideal tanpa melibatkan TIK. Keterlibatan TIK dalam pemilu dikategorikan menjadi tiga hal, yakni sebagai tools, enabler, dan transformer. Keterlibatan sebagai tools adalah berperan sebagai pendukung jalannya organisasi penyelenggara pemilu dan komputerisasi dari back office. Di sini, TIK masih merupakan pelengkap dalam tahapan pemilu. Sedangkan sebagai enabler terwujud, jika TIK sudah menjadi penggerak tahapan pemilu serta menghasilkan efisiensi yang signifikan bagi organisasi penyelenggara pemilu. Sedangkan TIK sebagai transformer yaitu sebagai penentu arah transformasi organisasi penyelenggara pemilu menuju efektivitas pemilu, reduksi biaya, dan waktu secara signifikan dengan prinsip otomatisasi dan rekayasa ulang proses (process reengineering). Pemilu 2004 dan pemilu sebelum era reformasi, menjadikan TIK baru sebatas tools dan pelengkap. Pada penyelenggaraan Pemilu 2009 ini, mestinya TIK ditingkatkan fungsinya sebagai enabler. Pada Pemilu 2019 diproyeksikan sudah terjadi proses transformer, di mana pemungutan suara sudah bisa dilakukan dengan prinsip otomatisasi, rekayasa ulang proses, dan termasuk penggunaan mesin e-Voting generasi baru yang memenuhi kriteria verifiability dan auditability.

Dalam Pemilu 2009, input data suara secara elektronik direncanakan menggunakan prinsip Integrated Input Technology (IIT), yang terdiri dari Intelligent Character Recognition (ICR), Optical Mark Reader (OMR), data entry melalui aplikasi, dan data entry dengan digital form (e-Form). Dengan prinsip itu, data/file (misal hasil scaning form C1) dan database hasil konversi serta tabulasinya dapat disimpan lebih baik dan menjadi arsip KPU provinsi/kabupaten/kota yang dapat ditampilkan kembali dengan mudah dan cepat apabila diperlukan. Jika pada suatu saat terjadi sengketa hasil penghitungan suara, file arsip tersebut dapat dimunculkan dan dijadikan salah satu alat bukti yang valid. Dengan demikian, hasil penghitungan suara pemilu tersebut, menjadi lebih akuntabel dan auditabel. Solusi teknologi itu sangat membantu mewujudkan tabulasi hasil pemilu secara cepat dan menarik. Dengan demikian, rakyat tidak dirundung situasi ketidakpastian. Sungguh tontonan yang menarik bila penayangan hasil penghitungan suara didukung perangkat lunak tabulasi grafis berbasis business intelligence dan digital dashboard, yang merupakan suatu sistem informasi yang berfungsi untuk menampilkan data hasil penghitungan suara di setiap wilayah maupun daerah pemilihan, untuk calon anggota DPR dan DPD yang mempunyai kemampuan analisis data (analisis politik/demokrasi) dan memiliki fasilitas reporting yang lengkap berbasis GIS ((geographic information system) dan digital dashboard dengan tampilan grafis.

Sistem IT KPU saat ini kurang pantas digunakan untuk Pemilihan Presiden

Pertama-tama perlu saya kemukakan bahwa selama ini saya tidak terlalu menyuarakan opini negatif terhadap sistem IT KPU (tnp dan www) karena berbagai alasan yang terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Pada awalnya saya beranggapan bahwa KPU sudah memiliki tim yang (semestinya) dapat menjalankan misinya. Namun, pada perjalanannya mulai nampak bahwa sistem kurang dikelola secara optimal sehingga menimbulkan banyak masalah. (I documented the problems elsewhere. Perhaps in the future I will put them here.)

Masalah yang menjadi perhatian saya adalah sisi security, yang kebetulan merupakan topik yang saya minati. Dalam pandangan saya, masalah yang terbesar adalah sisi cara pengelolaan dan penggunaan teknologi yang digunakan. Saya ambil contoh.

Dalam proses perhitungan yang lalu terdapat banyak masalah yang dapat dikatakan akibat dari keteledoran (lalai). Data-data yang seharusnya masih nol, ternyata berisi angka. Capacity planning kurang diperhatikan sehingga kisruh masalah bandwidth. Puncaknya adalah adanya berhasilnya sistem dijebol sehingga data-data nama partai berhasil diubah. (Ada partai kolor ijo segala!)
Tuntutan dari sebagian orang yang melek IT bahwa sistem harus diaudit ditanggapi dengan pernyataan bahwa tidak ada standar audit IT. Padahal audit teknologi yang terkait dengan security sudah lama saya lakukan. Sangat disayangkan bahwa KPU belum mengerti adanya bidang ini. Kemudian ramai orang membicarakan masalah audit IT ini, meski umumnya membahas dari kerangka information system (IS). Tidak salah. Tapi mungkin banyak yang lupa (atau belum tahu) bahwa ada juga audit dari sisi teknologi (IT).

Hari ini, Rabu 19 Mei 2004, ada sebuah artikel Koran Tempo (hal 4.) berjudul "KPU TETAP GUNAKAN TEKNOLOGI INFORMASI". Tidak ada salahnya. Namun kalimat yang membuat saya terhenyak, dan juga memicu tulisan ini adalah pernyataan dari Ketua KPU bapak Nazaruddin Sjamsuddin tentang audit KPU, "Yang audit KPU sendiri". (emphasis dari saya). Kemudian dicontohkan bahwa perusahaan telekomunikasi dan perusahaan listrik fasilitasnya tidak pernah diaudit. Memang tidak banyak orang yang tahu (apa perlu diworo-woro) bahwa saya pernah mengaudit sebagian dari fasilitas beberapa perusahaan telekomunikasi. Audit pun harus dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. (Unfortunately, I don't have access to ISO 17799 handy. If I recall correctly, it's there.) Bagaimana pertanggung-jawaban hasil audit jika dilakukan oleh diri sendiri?. Dalam institusi finansial, misalnya, ada bagian audit yang melakukan audit terhadap divisi IT. Audit terhadap IT tidak dapat dilakukan oleh divisi IT itu sendiri. Demikian pula penanganan insiden, tidak dilakukan oleh divisi IT tapi oleh sebuah incident response team yang terpisah (yang mungkin langsung bertanggung jawab ke CEO). Mengapa hal ini dilakukan? Karena harus ada separation of duty (lagi-lagi ini term dari ISO 17799).

Belakangan ini dilaporkan bahwa ada kelompok (yang menyebutkan diri sebagai TNP Auditor Team) yang sudah berhasil mendapatkan sebagian data-data dari server KPU. Data-data tersebut adalah program yang digunakan oleh IT KPU. IT KPU mengkonfirmasi bahwa data-data tersebut bukan dari mesin production melainkan dari mesin development. Production atau bukan, informasi sudah bocor. (Lain ceritanya jika memang source codenya sengaja di-open-source-kan.) Lagi-lagi kelalaian.

Melihat gejala-gejala seperti ini, nampaknya saya harus bersuara. Opini saya, seperti judul tulisan ini: "Sistem IT KPU saat ini kurang pantas digunakan untuk Pemiihan Presiden". Sistem harus diaudit oleh pihak ketiga yang independen. Mumpung masih ada waktu. Ini bukan sistem untuk main-main akan tetapi sistem yang menyangkut hajat orang banyak. Apa yang sudah dilakukan sekarang belum cukup. It's not good enough.

Sebagai catatan, agar tidak timbul kesalahpahaman perlu saya jelaskan bahwa meskipun pekerjaan saya adalah mengaudit (teknologi dan non-teknologi) security IT, namun saya TIDAK TERTARIK DAN TIDAK BERSEDIA untuk mengaudit sistem IT KPU. Silahkan pihak lain yang melakukannya. Jika memang dianggap tidak ada yang kompeten di Indonesia, silahkan hire auditor asing saja. Sekalian lebih independen (mungkin?). Yang penting, sistem harus diaudit. Itu tuntutan saya sebagai warga negara Indonesia. Silahkan mau didengar atau tidak. At least, saya sudah menyuarakan suara saya.

Jelang Pilpres IT KPU Benah Diri

Pemilihan presiden yang akan berlangsung tidak lama lagi memaksa KPU untuk berpikir keras agar kekacauan yang terjadi di pemilihan legislatif tidak terulang kembali. Untuk itu KPU segera lakukan audit yang akan dlasanakan oleh para pakar IT. Praktisi IT dari ITB Dedy Syafwan audit yang akan dilakukan adalah bukan audit formal menyangkut penggunaan keuangan, melainkan audit oleh para pakar tentang kelayakan penggunaan teknologinya. Elemen yang perlu diaudit seperti jaringan, software, SDM, dan lain-lain.

Selain itu kedepannya akan dilakukan semacam seminar yang akan melibatkan berbagai pakar IT di Indonesia. Tujuannya agar mereka dapat memberi masukan terkait penggunaan IT yang tepat untuk digunakan pada pemilihan presiden mendatang. Dengan adanya seminar ini, imbuh Dedy, diharapkan muncul solusi bagi IT KPU yang sudah berwujud cetak biru (blueprint) yang bisa dijadikan pedoman bagi KPU. "Inilah yang harus dikerjakan untuk pilpres sehingga tidak terjadi kasus seperti di pileg," tandas Dedy.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Permasalahan IT KPU yang utama adalah kesalahan dalam pemilihan IT, hal inilah yang akhirnya menimbulkan adanya masalah-masalah lain dalam IT KPU. Berbagai permasalahan yang di timbulkan tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Penggunaan teknologi ICR yang merupakan akar dari permasalahan yang ada. Intelligence character recognition (ICR) yang belum terbukti kemapuannya dan membutuhkan banyak waktu untuk validasi karena hasil bacanya yang kerap salah.

2. 500 KPUD Diprediksi Alami Masalah ICR

3. Penghitungan C-1 IT Bermasalah yaitu Kertas Data Suara C1 IT Tak Standar sehingga Tak Bisa Dibaca Scanner, dan Terancam Pakai Manual

4. Scanning Tak Bisa Dioperasionalkan sehingga adanya banyak problem scanner di KPUD kabupaten/kota

Saran

Dengan adanya bebagai permasalahan IT KPU di atas maka penulis memberikan beberapa saran antara lain sebagai berikut :

1. Di perlukan adanya optimalisasi Sistem Informasi KPU yang di harapkan dapat meminimalkan permasalahan IT KPU

2. Sistem IT KPU yang di pakai sekarang ini kurang pantas digunakan untuk Pemilihan Presiden sehingga menjelang pemilihan presiden IT KPU harus benah diri terlebih dahulu.

Untuk mendukung pelaksanaan tahapan pemilu khususnya dalam pengadaan perangkat teknologi informasi kpu untuk mendukung Pemilu maka perlu segera diadakan sidang pleno KPU untuk memutuskan:

1. Peraturan KPU tentang Sistem Informasi Pemilihan Umum (Sipemilu)

2. Keputusan KPU tentang Pelaksanaan Tabulasi Penghitungan Suara Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Untuk mengimplementasikan peraturan dan keputusan tersebut, perlu segera dilaksanakan proses pengadaan Sistem Informasi / Teknologi Informasi KPU yang harus dimulai paling lambat minggu ke-3 bulan Januari 2009, terutama untuk pengadaan:

1. Sewa Jaringan Teknologi Informasi Komisi Pemilihan Umum

2. Perangkat Keras Teknologi Informasi Untuk Mendukung Tabulasi Pemilu Legislatif

3. Sistem Informasi Pemilihan Umum (Sipemilu), Perangkat Lunak Aplikasi Optical Mark Reader (OMR), Sistem Tabulasi, Tabulasi Grafis Dan Dashboard Hasil Penghitungan Suara Pemilu Legislatif Komisi Pemilihan Umum

4. Form C1-IT yang dilaksanakan disetiap KPU Provinsi

5. Perangkat input data dan tabulasi (scanner, OMR, dan database tabulasi lokal) di KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi

yang dilanjutkan dengan proses pengadaan yang lainnya.